Senin, 19 Maret 2012

HAIDL DAN BELUM SHOLAT Pada kesempatan yag luang ini saya ingin mempostingkan menenai masalah haidl atau dalam bahasa lainnya adalah Menstruasi, Tidak sedikit dari kaum hawa yang kurang mengindahkan hal semacam ini, dipercayai atau tidak masih banyak yang belum paham mengenail hal semacam ini yang mana hal ini adalah merupakan suatu Qodrat bagi kaum hawa, Okay langsung saja ke TKP,hehehe Pembahasan ini ingin menjawab satu permasalahan yang dihadapi para wanita. Ketika masuk waktu Zhuhur -misalnya jam 12-, ia belum juga mengerjakan shalat hingga jam 1 siang. Ketika jam 1, ia kedapatan haidh. Berarti ia tidak boleh mengerjakan shalat Zhuhur kala itu. Masalahnya, apakah ia mesti mengqodho’ (mengganti) shalat Zhuhur ketika ia suci setelah 6 atau 7 hari? Ataukah ia lepas dari kewajiban? Mayoritas ulama (baca: jumhur) berpendapat bahwa wanita tersebut masih tetap punya kewajiban qodho’ yaitu mengganti shalat ketika ia suci. Karena ketika suci sebelum haidh saat itu, ia bisa mendapati shalat satu raka’at. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 103) Namun ada pendapat berbeda yang menyatakan tidak perlu mengqodho’ shalat Zhuhur. Alasannya, kasus wanita semacam ini telah banyak terjadi di masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan wanita dalam keadaan seperti itu untuk mengqodho’ shalatnya setelah mereka suci. (Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1: 210) Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik (berbeda dengan jumhur ulama), di mana tidak wajib untuk mengqodho dalam keadaan seperti itu karena qodho’ barulah wajib ketika ada kewajiban baru. Keadaan wanita tersebut bukan datang perintah baru. Karena jika si wanita mengakhirkan shalatnya, itu boleh dan tidak dikatakan ia lalai. Adapun orang yang tertidur dan lupa, walaupun ia bukan orang yang lalai, maka ia tetap mengerjakan shalat yang luput dari dirinya. Namun itu bukanlah qodho’, yang ia kerjakan adalah shalat di saat ia terbangun dan di saat ia ingat. (Majmu’ Al Fatawa, 23: 235). Pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah ini dirasa lebih kuat dilihat dari alasan yang diberikan yang begitu jelas. Okay sekian dulu pembahasan ini, lain kali disambung lagi.hahahaha. semoga bermanfaat bagi kalian semua terutama bagi kaum muslimah yang belum begitu paham akan Qodratnya sebagai kaum hawa. :-)

HAIDL DAN BELUM SHOLAT

Pada kesempatan yag luang ini saya ingin mempostingkan menenai masalah haidl atau dalam bahasa lainnya adalah Menstruasi, Tidak sedikit dari kaum hawa yang kurang mengindahkan hal semacam ini, dipercayai atau tidak masih banyak yang belum paham mengenail hal semacam ini yang mana hal ini adalah merupakan suatu Qodrat bagi kaum hawa, Okay langsung saja ke TKP,hehehe
 
Pembahasan ini ingin menjawab satu permasalahan yang dihadapi para wanita. Ketika masuk waktu Zhuhur -misalnya jam 12-, ia belum juga mengerjakan shalat hingga jam 1 siang. Ketika jam 1, ia kedapatan haidh. Berarti ia tidak boleh mengerjakan shalat Zhuhur kala itu. Masalahnya, apakah ia mesti mengqodho’ (mengganti) shalat Zhuhur ketika ia suci setelah 6 atau 7 hari? Ataukah ia lepas dari kewajiban?
Mayoritas ulama (baca: jumhur) berpendapat bahwa wanita tersebut masih tetap punya kewajiban qodho’ yaitu mengganti shalat ketika ia suci. Karena ketika suci sebelum haidh saat itu, ia bisa mendapati shalat satu raka’at. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 103)
 
Namun ada pendapat berbeda yang menyatakan tidak perlu mengqodho’ shalat Zhuhur. Alasannya, kasus wanita semacam ini telah banyak terjadi di masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan wanita dalam keadaan seperti itu untuk mengqodho’ shalatnya setelah mereka suci. (Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1: 210)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
 
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik (berbeda dengan jumhur ulama), di mana tidak wajib untuk mengqodho dalam keadaan seperti itu karena qodho’ barulah wajib ketika ada kewajiban baru. Keadaan wanita tersebut bukan datang perintah baru. Karena jika si wanita mengakhirkan shalatnya, itu boleh dan tidak dikatakan ia lalai. Adapun orang yang tertidur dan lupa, walaupun ia bukan orang yang lalai, maka ia tetap mengerjakan shalat yang luput dari dirinya. Namun itu bukanlah qodho’, yang ia kerjakan adalah shalat di saat ia terbangun dan di saat ia ingat. (Majmu’ Al Fatawa, 23: 235). Pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah ini dirasa lebih kuat dilihat dari alasan yang diberikan yang begitu jelas.

Okay sekian dulu pembahasan ini, lain kali disambung lagi.hahahaha. semoga bermanfaat bagi kalian semua terutama bagi kaum muslimah yang belum begitu paham akan Qodratnya sebagai kaum hawa. :-)

AL ISLAM

SYARI’AT, TARIQAT, HAQIQAT DAN MA’RIFAT

SYARI’AT, TARIQAT, HAQIQAT DAN MA’RIFAT
BAB 1
        PENDAHULUAN

Dalam Islam terdapat ajaran-ajaran yang bersifat lahiriyah dan formal. Dengan ajaran itulah agama ini mengatur kehidupan pemeluknya, sehingga satu tak berbenturan satu sama lain. Ajaran lahiriyah (eksoterik) itulah yang disebut syari’ah. Akan tetapi, islam bukan hanya terbatas pada aturan-aturan legal-formal saja. Dibalik aturan-aturan formal terdapat pula ajaran yang bersifat batiniyyah, yang bukan dalam bentuk aturan-aturan formal yang mengakibatkan adanya sanksi hukum, tetapi lebih berbentuk isyarat-isyarat yang merupakan inti keberagaman dan merupakan penyempurnaan dari bentuk-bentuk lahiriyah formalis. Ajaran yang bersifat batini inilah yang disebut haqiqat (esoterik).
Lanjutan dari syari’at itulah thariqat. Thariqat memiliki dua pengertian, satu secara luas yaitu pengamalan syari’at secara benar dan secara utuh, kedua Thariqat berarti organisasi yang mengajarkan suatu bentuk praktek dzikir, dengan bimbingan seorang pembimbing rohani (Syaikh Mursyid).
Selanjutnya tentang Syari’at, Thariqat, Haqiqat Dan Ma’rifat akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan.









BAB II
    PEMBAHASAN
1.    SYARI’AT
Syari’at secara bahasa adalah syara’ ‘a-yasrou, sedangkan menurut syara’ adalah memberikan jalan kepada mereka atau menjelaskan jalan-jalannya, jadi Syari’at adalah aturan-aturan atau undang-undang  (sesuatu yang telah dibuat undang-undang) oleh Allah buat hamba-Nya, baik berupa peraturan atau hukum.
Menurut Mahmud Shaltout, Syariat ialah nama yang diberikan kepada dasar-dasar dan hukum-hukum yang diwahyukan Allah, yang diwajibkan kepada umat islam untuk dipatuhi dengan sebaik-baiknya, baik dalam hubungannya dengan Allah, maupun dengan sesama manusia.
Dengan kata lain syari’at bisa diartikan peraturan-peraturan yang mencakup, termasuk didalamnya soal-soal wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.  Jadi hukum syara’ adalah berhubungan dengan perintah-perintah dan larangan-larangan agama. Termasuk dalam syari’at adalah segala amalan-amalan dhohir (lahir) seperti sembahyang, puasa, zakat, haji, jihad fi sabilillah, juga hukum-hukum dalam bidang ekonomi, social, politik, dan lain-lain.
Syeh Zaenuddin bin Ali dalam kitabnya “Hidayatul Adzkiya’ ila Thoriiqil Auliya’ ” telah bersyair :
فشريعة احذ بدين الخا لق # وقيامه بالامر والنهي انجلى
Syari’at adalah berpegang pada agama Allah khaliqul alam dan menjalankan perintah-Nya  serta meninggalkan larangan-Nya
Sebelum bait ini beliau menggambarkan syari’at dalam hubungannya dengan haqiqat untuk mencapai tujuan adalah bagaikan perahu. Dimana orang bisa mencapai haqiqat yang oleh beliau diumpamakan dengan intan, adalah dengan memakai perahu. Jadi syari’at ini adalah salah satu jalan untuk menuju haqiqat yang harus diindahkan dan dijalankan.
Syari’at ini bagi kaum mutashowwifin tidak bisa ditinggalkan. Syari’at adalah salah satu unsuryang harus dilaksanakan bahkan merupakan hal yamg pokok bagi yang lain. Antara syari’at dengan haqiqat adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan bagi orang yang hidup bertasawwuf, satu sama lain saling berpautan; karena itulah kaum mutashowwifin berkata:
ان الحقيقة بلا شريعة باطلة والشريعة بلا حقيقة عاطلة
“Sesungguhnya haqiqat tanpa syari’at adalah batal dan syari’at tanpa haqiqat adalah tak berarti”
Berdasarkan uraian tersebut maka bisa diambil ketetapan sebagai berikut:
a.    Syari’at adalah salah satu unsure yang harus dilaksanakan dalam hidup bertasawuf
b.    Syari’at dan haqiqat adalah saling berhubungan erat dan saling isi mengisi
c.    Barang siapa yang meninggalkan syari’at dalam bertasawuf dengan alas an apa saja, maka bukan saja setidak shalihan, tetapi malah adalah kekafiran.
( Permadi, 1997: 50 )

2.    TARIQAT
1.    Pengertian Tariqat
Istilah Tariqat berasal dari kata At-Tariq (jalan) menuju kepada hakikat, atau dengan kata lain pengalaman syari’at, yang disebut “Al-Jara” atau “Al-Amal”, sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
الطريقة هي العمل بالشريعة والاخذ بعزا ئمها والبعد عن التسا هل فيما لا ينبغى التسا هل فيه
Artinya:
“Tariqat adalah pengalaman syari’at, melaksanaka beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah”.

الطريقة هي اجتناب المنهيات ظا هرا وباطنا وامتثال الاوامرالالهية بقد رالطاقة



Artinya:
“Tariqat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan kesanggupannya, baik larangan dan perintah yang nyata maupun yang tidak (batil)”.
الطريقة هي اجتناب المحرمات والمكروهات وفضول المباحات واداءالفرائض فما استطاع من النوافل تحت رعاية عارف من اهل النهاية
Artinya:
“Tariqat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) faidah, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunnatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) dibawah bimbingan seorang arif (Syekh) dari (Sufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.”
Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan Tasawuf di beberapa Negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah Tarikat mempunyai dua macam pengartian.
a.    Tarikat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamat” dan “Al-Ahwal”. Pengertian yang seperti ini, menonjol sekitar abad ke-IX dan ke-X Masehi.
b.    Tarikat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikanmenurut aturanyang telah dibuat oleh seseorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarikat yang mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut aliran Tarikat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya. Pengertian yang seperti ini, menonjol sesudah abad ke-IX Masehi.
Dari pengertian dan definisi diatas, maka Tarikat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seseorang, maupun secara bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamat” dan “Al-Ahwal”.
Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj dapat disebutkan sebagai berikut:
a.    Tingkatan Taubat (At-Taubah)
b.    Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh, serta yang subhat (Al-Wara’)
c.    Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (Az-Zuhdu)
d.    Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru)
e.    Tingkatan sabar (As-Sabru)
f.    Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul)
g.    Tingkatan kerelaan (Ar-Rida)

2.    Istilah Tariqat
Ada beberapa istilah “tariqat”, antara lain:
a.    Syari’at
Kata “syari’at” berarti perjalanan atau peraturan. Maksudnya, para ahli tarikat berpendapat berupa amalan-amalan lahir. Semisal salat, puasa daan lain sebagainya.
b.    Hakikat
Kata “hakikat” berarti puncak atau kesudahan sesuatu atau asal sesuatu. Arti lain adalah sebagai kebalikan dari sesudah yang tidak sebenarnya (arti kiasan). Namun di dalam istilah tarikat berarti sebagai kebalikan syariat yakni yang menyangkut batin.
c.    Ma’rifat
“Ma’rifat” berarti pengetahuan atau pengalaman. Menurut istilah, “ma’rifat” ialah pengetahuan dalam mengerjakan syari’at dan hakikat. Para ahli Tarikat berpendapat bahwa ma’rifat adalah sifat sufi yang dapat bertingkat-tingkat. Dari tingkat talib, murid, salik, dan wasila. Jadi kalau ia disebut ahli ma’rifat apabila telah berada ke hadirat Ilahi
d.    Tarikat
Kata “tarikat” berarti jalan. Menurut istilah, Tarikat ialah jalan atau cara yang ditempuh menuju keridaan Allah.
e.    Suluk
Kata “suluk” berarti menempuh perjalanan. Kata suluk berasal dari kata “salaka”. Dalam istilah tasawuf, “suluk” adalah ikhtiar (usaha) dalam menempuh jalan untuk mencapai tujuan tarikat. Orang yang menjalankan ikhtiar disebut “salik”.
f.    Manazil
Artinya tempat-tempat perhatian yang dilalui salik yang melakukan “suluk”
    Masyahid
Ialah hal-hal yang terlihat pada perjalanan ditengah sedang melakukan suluk
    Maqamat
Ialah derajat-derajat yang diperoleh dalam usaha sendiri.
    Kasbiyah
Ialah derajat-derajat yang diperoleh semata-mata dengan anugerah Allah yang disebut “al-ahwal” atau “mauhibiyah”
Istilah-istilah diatas disebut tempat bagian ketika memasuki tasawuf
g.    Zawiyah
Adalah merupakan suatu ruang tempat mendidik calon-calon sufi. Disebut juga tempat latihan tarikat yang dilengkapi dengan mihrab untuk salat. Wujud zawiyah besar adalah asrama atau madrasah
h.    Illa zikr naïf isbat
Kalimat “La ilaha illallah” mengandung dua kata, pertama kata “La” dan kedua “Illa”. Dan dua kata pula yang menetapkan yaitu “Ilaha” dan Allah”.
Dalam hal tersebut diatas ahli tarikat memberi tiga tingkatan pengertian, yaitu:
    Tiada Tuhan melainkan Allah
    Tiada ma’bud melainkan Allah
    Tiada maujud melainkan Allah
i.    As-Sukr
As-Syukru maksudnya sebagai salah satu sikap dalam ibadah dan khaiwat. Sehingga orang itu tidak sadar lagi akan dirinya.
Al-Fana
Al-Fana merupakan suatu tingkatan/golongan salik, yang menurut mereka dapat terlihat diwaktu ia terpengaruh oleh perasaannya waktu menalankan ibadah, maksud lain adalah lupa segala sesuatu ketika beribadah kecuali yang disembahnya.
j.    Uslah
Uslah adalah salah satu praktek suluk dengan mengasingkan diri dari khalayak ramai yang berbuat maksiat.
Khalwat
Khalwat sebagai satu rangkaian dalam suluk dengan jalan menyendiri ditempat yang sunyi atau bertapa.
k.    Kasyaf
Artinya terbukanya dinding antara hamba dengan Tuhan dalam tarikat. Empat dindind pembatas antara Khalik dengan mahluk menurut ahli tarikat yaitu:
    Najis dan hadas
    Haram dan makruh
    Akhlaq yang tercela
    Kelalaian terhadap Tuhan kaena pengaruh dunia
l.    Silsilah
Artinya nisbah (hubungan) guru-guru tarikat yang sambung bersambung dari bawah ke atas yang perlu diketahui oleh pengikut-pengikut tarikat
Khirqah
Ialah semacam ijazah yang diberikan kepada murid setelah mencapai suatu tahap dalam pengetahuan. Lebih lanjut dalam pembeian “khirqah” bersama dengan “wasiat” yaitu amanah atau pesan-pesan penting dan khusus dari guru kepada murid.
m.    Wali
Wali adalah seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian yang tinggi setelah melalui suluk. Dia mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu sebagai bukti kewaliannya.


Keramat
Adapun yang dimaksud dengan keramat adalah keistimewaan yang dimiliki seorang wali.
3.    Tokoh-Tokoh Tarikat Di Dunia Islam Maupun Indonesia
Ada beberapa peristilahan yang sering dijumpai dalam Tarikat yang bersifat perkumpulan, misalnya:
a.    Syekh atau Mursyid, adalah guru tarikat
b.    Khalifah adalah wakil Syekh atau Mursyid
c.    Murid adalah pengikut aaran suatu tarikat
d.    Baiat adalah peranjian atau sumpah setia murid kepada gurunya, ketika ia memasuki perkumpulan Tarikat.
e.    Wasilah atau Rabitah adalah perantara guru (Syekh) dengan muridnya, sehingga setiap amalan gurunya selalu dijadikan wasilah oleh murid-muridnya.
f.    Suluk adalah mengamalkan ajaran-ajaran yang telah diterima dari guru, sebagai sarana latihan jiwa untuk mencapai suatu maqam dalam tariqat.
g.    Ijazah adalah sebuah pengakuan guru kepada muridnya, berupa keterangan tertulis yang dibubuhi tandatangan, silsilah tarikat dan simbl-simbul lain; misalnya pemberian sepotong kain yang disebut “Khiqatut Tabarruk”.
Macam-macam tarikat beserta pendirinya
•    Tatikat Qadiriyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Abdul Qadir Jailani sebagai pendirinya
•    Tarikat Rifa’iyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Ahmad Rifa’i
•    Tarikat Maulawiyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Maulana Jalaluddin Ar-Rumi.
•    Tarikat Syaziliyah, yang dinisbatkaan kepada Asy-Syekh Abdul Hasan Ali bin Abdil jabbar Asy-Syazali.
•    Tarikat Badawiyah yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Ahmad al-Badawi
•    Tarikat As-Suhrawardiyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Umar As-Suhrawardi;
•    Narikat Naqsyabandiyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syhalah Bahauddin Muhammad bin Hasan An-Naqsabandi;
•    Tarikat Syatariyah, yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Abdullah Asy-Syattari;
•    Tarikat Khalwatyh yang dinisbatkan kepada Asy-Syekh Abdul Barakat Ayyub bin Muhammad Al-Khalwati Al-Qursisyi. (Mustafa, 1997: 280)

3.    HAQIQAT
1.    Pengertian Haqiqat
Haqiqat adalah keadaan salik sampai pada tujuan yaitu ma’rifatullah dan musyhadati nurit tajalli (melihat nur yang nyata).
Imam Ghazali menerangkan, bahwa tajalli itu ialah terbukanya nur cahaya yang gaib bagi hati seseorang. Sangat mungkin bahwa yang dimaksudkan dengan tajalli disini ialah yang mutajalli, yaitu: Allah ta’ala.
Lain dari pada itu, sebagian ulama tasawuf mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan hakikat adalah segala macam penjelasan mengenai kebenaran sesuatu seperti syuhud asma’ dan shiffaat demikian juga syuhud zat dan memahami rahasia-rahasia Al-Qur’an dan rahasia-rahasia yang terkandung dalam cegahan dan kebolehan. Disamping itu juga memahami  ilmu-ilmu ghaib yang tidak diperoleh dari seorang guru.
2.    Pembagian Haqiqat
Prof.Dr.H. Abu Bakar Aceh mengatakan bahwa hakikat ada 3 yaitu:
    Haqiqat Tasawuf
Haqiqat tasawwuf ini diutamakan untuk membicarakan usaha-usaha memutuskan syahwat dan meninggalkan dunia dengan segala keindahannya serta menarik diri dari kebiasaan-kebiasaan duniawi.
    Haqiqat Ma’rifat
Yaitu mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya dengan bersungguh-sungguh dalam segala pekerjaan dan ahwalnya
    Haqiqatul Haqoiq
Disebut juga dengan nama hadratul jama’ atau hadratul wujud. Haqiqat ini merupakan puncak segala haqiqat. Ia termsuk martabat ahadiyah, penghimpun dari semua haqiqat. (Permadi, 1997: 54)

3.    Beberapa Kalimat Yang Termasuk Dalam lingkungan Thariqat
I.    Ikhlas, yaitu yang suci murni. Ibarat emas tulen, tidak tercampur dengan logam lain.
II.    Muraqabah, artinya senantiasa mengintip dan mengintai dari dekat, apa-apa yang harus dilakukan untuk menuju Tuhan.
III.    Muhasabah, artinya memperhitungkan keadaan diri sendiri , supaya mendapatkan kelayakan menjadi murid (penuntut). Dihitunng apa kelalaian, apa kekurangan. Sehingga dengan demikian bertambah naiklah diri itu dari satu tingkat ke lain tingkat yang lebih tinggi. Menempuh tingkat itu disebut maqamat.
IV.    Tajarrud, artinya melepaskan segala ikatan apa pun juga yang akan merintangi diri dalam menuju alan itu. Misalnya kemegahan, hawa nafsu dunia, pangkat, dan kedudukan.
V.    ‘Isyq, Artinya rindu. Maka mahluk didunia ‘Asyiq. Dan Khaliq dinamainya Ma’syuq.
VI.    Hubb, artinya cinta.
Karena rasa cinta dan rindulah yang mendorong manusia melangkah dan menarik, laksana laksana tarikan besi-berani, supaya lebih dekat diantara ‘Asyiq dengan Ma’syuqnya, Dan dengan Hubb atau ‘isyq itulah seluruh alam ini dijadikan dan diciptakan.
(Hamka, 1986: 111)










4.    MA’RIFAT
1.    Pengertian
Istilah ma’rifah berasal dari kata “Al-Ma’rifah”, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka istilah ma’rifah disini berarti mengenal Allah ketika sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf, antara lain:
a.    Dr, Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan
المعرفة جزم القلب بوجودالواجب الموجود متصفا بسائرالكلمات
Artinya:
“Ma’rifah artinya ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang adanya (Allah) yang menggambarkan segalaa kesempurnaannya”.
b.    Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-kadiriy mengemukakan pendapat Abuth thayyib As-Samiriy yang mengatakan:
المعرفة طلوع الحق, وهو القلب بمواصلة الانوار
Artinya:
“Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi
c.    Imam Al-Qusyairy mengemukakn pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
المعرفة يوجب السكينة فى القلب كما ان العلم يوجب السكون, فمن ازدادت معرفته ازدادت سكينته
Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).
(Mustafa, 1997: 251)
Ma’rifat adalah tingkat penyerahan diri kepada Allah secara tingkat demi setingkat sehingga sampai kepada tingkat keyakinan yang kuat. Orang yang memiliki ilmu Ma’rifat dianggap sebagai orang yang “arif”, karena ia bisa memikirkan dalam-dalam tentang segala macam liku-liku kehidupan di dunia ini, oleh karena itu jika kita bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu ma’rifat, maka akan meraih suatu karomah.
Karomah adalah keistimewaan yang tidak dimiliki orang awam. Bentuk karomah tersebut adalah mata hati kita menjadi awas dan indra ke enam kita jadi tajam. Kita akan dapat mengetahui sesuatu yang tersembunyi dibalik peristiwa, orang yang mata hatinya dan indra ke enamnya tajam, maka ia dapat masuk ke dalam hal-hal yang dianggap gaib (tersembunyi). Orang yang arif (memiliki ilmu ma’rifat), suka memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah dengan mata kepalanya, kemudian ia merenungkan dengan mata hatinya.
Orang ma’rifat jika melakukan sesuatu atau memutuskan sesuatu menggunakan nuraninya dari pada hawa nafsu yang mempengaruhi dirinya atau nuraninya yang berkata. Oleh karena itu, orang yang sudah menduduki tingkat ini, selalu tajam indra keenammya. (http, Cinta Ma’rifat: 09.30)
Dalam bukunya Mustafa dikatakan bahwa Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma’rifah. Karena itu sufi yang sudah mendapatkan tingkatan ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu. Adapunnya yaitu:
a.    Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan perilakunya, karena itu sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b.    Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut aaran tasawuf belum tentu benar.
c.    Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkat kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.


2.    Jalan Ma’rifat
Kaum Sufi untuk mendapatkan suatu ma’rifat melalui jalan yang ditempuh dengan  mempergunakan suau alat diantaranya:
a.    Sir ( السر )
b.    Menurut Al-Qusyairi ada tiga yaitu:
1.    Qalb ( القلب ) fungsinya untuk dapat mengetahui sifat tuhan.
2.    Ruh ( الروح ) fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.
3.    Sir ( السر ) fungsinya untuk melihat Tuhan.
Kedudukan Sir lebih dari ruh dan qalb. Dan ruh lebih hulus dari qalb. Qalb di samping sebagai alat untuk merasa juga sebagai alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan ‘aql ialah kalau ‘aql tidak dapat menerima pengetahuan tentang hakikat Tuhan, tetapi Qolb dapat mengetahui hakikat dari segala yang ada dan manakala dilimpahi suatu cahaya dari Tuha, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
Posisi sir ( السر ) bertempat di dalam ruh. Dan ruh ( الروح ) sendiri berada di dalam qalb. Sir akan dapat menerima pantulan cahaya dari Allah apabila qalb dan ruh benar-benar suci, kosong dan tidak berisi suatu apapun. Pada suasana yang demikian, Tuhan akan menurunkan cahaya-Nya kepada mereka (Sufi). (Mustafa, 1997: 251)
4.    Tokoh Ma’rifah
Salah satu tokoh dalam Ma’rifah yaitu Al-Ghazali. Al-Ghazali mengakhiri masa petualangannya, karena telah mendapat “pegangan” yang sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah masyarakat. Pegangan itu adalah “Paham Sufi” yang diperolehnya berkat ilham Tuhan di tanah suci Mekkah dan Madinah.
Sesudah mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka terbukalah pikirannya untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. Hidup berpetualang selama 10 tahun lamanya, sudah cukup membosankannya, dan timbullah pikiran yang normal untuk kembali hidup di tengah masyarakat.
Hatinya sudah bulat untuk pulang. Tetapi sebagai orang besar, tidaklah mungkin dia pulang dengan tidak ada panggilan resmi dari pihak pemerintah. Kebetulan datanglah panggilan yang ditunggu-tunggunya itu. Perdana Mentri Fakhrul Mulk, putra dari Nizam ul Mulk almarhum, telah memintanya supaya segera pulang ke Niesabur untuk memimpin Universitas Nizamiyah yang ditinggalkannya.
Al Ghazali memangku jabatan presiden Universitas, dan memberikan kuliah dengan gembira sekli. Kesaksian baru yang dibawanya bahwa paham sufi adalah prinsip yang sejati dan paling baik. Disebarkannya kepada segenap mahasiswanya.
Menurut Al-Ghazali, Ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan yaitu (A’rif) tidak akan mengatakan “Ya Allah” atau “Ya Rabbi”.  Karena memanggil Tuhan dengan kata-kata seperti itu menyatakan, bahwa Tuhan ada di belakang tabir, Ma’rifah menurut Al-Ghazali juga memandang kepada wajah Allah SWT.
Sedangkan Ma’rifah dan mahabbah menurut Al-Ghazali adalah tingkatan tinggi bagi seorang sufi. Dan pengetahuan ma’rifah jebih baik kualitasnya dari pengetahuan akal. (Mustafa, 1997: 256)

















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Syari’at adalah aturan-aturan formal islam yang harus ditaati setiap muslim, suka atau tidak suka. Orang yang tidak melakukan akan diancam dengan siksa dan dosa dan yang melakukan akan diganjar dengan pahala.
Thariqat yaitu suatu cara atau pendekatan yang ditempuh oleh kaum mutashowwifin untuk mencapai tujuan.
Hakikat adalah keadaan salik sampai pada tujuan yaitu ma’rifatullah dan musyhadati nurit tajalli (melihat nur yang nyata).
Ma’rifat adalah ujung perjalanan dari ilmu pengetahuan.

















DAFTAR PUSTAKA

    Drs. H. A. Mustafa, Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia: 1997, Bandung
    Drs. K. Permadi, SH. Pengantar Ilmu Tasawuf, Rineka Cipta: 1997, Jakarta
    Dr. Yunasril Ali, M.A. Jalan Kearifan Sufi, Serambi Ilmu Semesta: 2002, Jakarta
    http:// Ma’rifat-Cinta. Blog Spot. Com/ www. Geogle. Com.
    Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas: 1986, Jakarta



Insan Cendikia

Menjadi Pembangun Insan Cendikia (Sebuah Refleksi Kritis Terhadap Guru di Era Baru)


 
Penulis: Blasius Mengkaka, S.Fil
Posted: Jumat, 16 Maret 2012

 1. Pendahuluan

     Era baru guru telah bergulir sejak keluarnya UU No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Melalui perdebatan sengit dan menghabiskan banyak waktu akhirnya DPR RI mengesahkan UU tentang guru dan dosen yang di dalamnya berisi tentang arah baru dalam karier guru dan dosen.  Pelaksanaan UU no.14 tahun 2005 itu pada awalnya penuh dengan beragam polemik dan perseteruan yang alot. Hal ini diakibatkan oleh wacana yang masih hangat antara warisan-warisan paradigma tentang guru pada masa lalu yang penuh simbol, lambang dan kekurangan terhadap keberadaan seorang guru di Indonesia.
     Model pendidikan RI sebelum keluarnya UU guru dan dosen No.14 tahun 2005 digambarkan sebagai model pendidikan warisan Orde Lama dan Orde Baru yang sangat sentralistik dan penuh simbol. Para guru tidak dilihat sebagai sebuah jabatan dan profesi yang penuh tantangan dan perjuangan. Ada kekuatiran bahwa bila keadaan para guru kita di Indonesia masih berada dalam situasi yang lama maka akan berimbas pada ketidakberdayaan dan bahkan kekalahan yang akan terus berlanjut pada masyarakat Indonesia dalam menghadapi arus globalisasi yang semakin deras melanda masyarakat dan bangsa kita.
     Dengan terbitnya UU tentang guru dan dosen yang baru ini (UU No.14 tahun 2005), para guru dapat menjadi insan pelopor utama bahkan menjadi pembimbing terdepan masyarakat dalam menghadapi krisis yang menimpah bangsa Indonesia akibat kemajuan globalisasi yang terus melanda masyarakat Indonesia. Kemajuan globalisasi ekonomi, teknologi dan informasi, agama dan seterusnya dikuatirkan akan menimbulkan dampak yang significant dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Maka pemerintah perlu memikirkan langkah strategis yang relevan agar masyarakat Indonesia bisa kuat dan sanggup menghadapi krisis multidimensi ini.
    Tulisan ini menghantarkan pembaca untuk memahami peranan guru sebagai pembangun insan Cendikia yang keberadaannya diyakini sebagai kunci dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam era globalisasi ini.

2. Tantangan Pelaksanaan UU No.14 Tahun 2005
     UU No.14 Tahun 2005 yang baru terbit ketika itu telah disambut oleh seluruh kalangan di Indonesia. Berbagai diskusi dan tanggapan mengalir deras. Masing-masing pihak menyodorkan beragam ide-ide dan gagasan yang menarik tentang guru di era baru nanti, khususnya dalam era globalisasi ini. Kolom-kolom mass media penuh opini, ide dan gagasan dari para pakar pendidikan baik dalam maupun luar negeri. Salah satu hal yang didiskusikan adalah tentang pelaksanaan sertifikasi guru dan dosen yang keberadaannya merupakan amanat UU guru dan dosen No.14 tahun 2005 demi mencapai profesionalisme guru dan dosen.
     Character dan pola pikir masyarakat Indonesia telah lama beranggapan bahwa guru adalah sebuah pekerjaan bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Paradigma pahlawan tanpa tanda jasa telah lama merasuk dan telah diinternalisasi dan disosialisasikan masyarakat sejak lama, yakni sejak masa Sekolah Dasar. Dalam nyanyian hymne guru yang selalu dinyanyikan pada setiap kali upacara bendera pada hari senin setiap minggu di sekolah-sekolah dari TK hingga SMA di Indonesia, para siswa selalu menyanyikan lagu hymne guru sebagai berikut: 
Engkaulah patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
Lagu hymne guru yang dinyanyikan ini telah membentuk karakter dan presepsi masyarakat tentang keberadaan guru-guru kita di Indonesia ini. Presepsi bahwa guru adalah seorang pahlawan tanpa tanda jasa maksudnya guru adalah seorang pahlawan yang diakui namun jasa-jasanya kurang dihargai secara bagus oleh negara. Seringkali jasa-jasanya hanya berupa simbol-simbol saja. Simbol-simbol itu berupa satya lencana dan tanda-tanda jasa pengabdian. Namun realisasi simbol-simbol itu, berupa penghargaan berwujud uang atau materi tidak ada. Akibatnya karena kesulitan ekonomi dan tidak adanya penghargaan berupa uang yang diberikan negara sebagai realisasi dari simbol itu, mengakibatkan para guru menjadi merana dalam kesulitan yang besar yakni kesulitan ekonomi sejak lama.
     UU guru dan dosen No.14 tahun 2005 dirasa telah mendudukan penghargaan yang nyata terhadap seorang guru. Sertifikasi guru dan dosen telah berhasil dilaksanakan pada berbagai daerah di Indonesia. Para guru sendiri melalui  Organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dalam lagu hymne guru RI tersebut. Lagu hymne guru itu sendiri merupakan sebuah lagu hymne bagi guru Republik Indonesia yang diciptakan oleh komponis Sartono.
    Maka para petinggi PB PGRI segera melakukan pendekatan kepada komponis itu dan melalui surat Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) No. 447/Um/PB/XIX/2007 pada tanggal 27 November 2007, secara resmi ditetapkan pergantian syair dari lagu hymne guru menjadi:
Engkaulah patriot pahlawan bangsa
Pembangun insan Cendikia
Dengan adanya ketetapan surat PB PGRI ini maka secara resmi terjadi perubahan paradigma guru dari seorang pahlawan tanpa tanda jasa menjadi seorang pembangun insan Cendikia. Perubahan pemahaman ini tentu saja membutuhkan sosialisasi yang luar biasa. Bukan saja bagi masyarakat kita saat ini, para siswa maupun masyarakat kita  dari generasi siswa masa lampau.
     Sosialisasi diharapkan mampu mengubah citra dan pemahaman tentang guru sebagai pembangun insan cendikia. Ketetapan PB PGRI ini diharapkan membawa implikasi yang luas bagi pemahaman yang baru tentang guru di era globalisasi yang berperanan sebagai pembangun insan cendikia bagi generasi bangsa dan generasi manusia di dunia pada abad sekarang ini. Ketetapan baru PB PGRI diumumkan kepada seluruh masyarakat dan diulas dalam berbagai media termasuk dalam Harian Umum KOMPAS.
     Pemahaman yang baru dari masyarakat tentang guru secara resmi terus bergulir seriring dengan kemajuan dan keberhasilan para guru dalam program sertifikasi sebagai bagian dari peningkatan karier dan kompetensi para guru menuju profesionalisme. Dalam slogan ini, pekerjaan guru bukan lagi dilihat sebagai sebuah pekerjaan bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Namun guru telah menjadi sebuah profesi yang menuntut kompetensi guru dan peningkatan penghargaan yang luar biasa. Penghargaan terhadap guru bukan lagi berupa simbol dan lambang, namun telah menjadi nyata, riil dan ada yakni berupa uang yang besarnya bukan kecil namun sebesar 1 kali gaji pokok dari guru yang bersangkutan.
     Surat PB PGRI tentang perubahan hymne ini diharapkan mampu melincinkan jalan bagi pelaksanaan sertifikasi guru terutama bagi peningkatan penghargaan bagi seorang guru bukan hanya berupa dana-dana yang diterimanya namun berupa penghargaan yang lebih riil terhadap kinerja guru tersebut. Sosialisasi tentang perubahan hymne ini tidak selalu mudah sebab beberapa tahun setelah itu, banyak guru sendiri sering menyebut dan memahaminya secara salah. Sosialisasi yang kurang mengakibatkan presepsi tentang guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa itu masih ada, bahkan oleh para guru sendiri. Perlu usaha yang lebih keras agar  ke depan sosialisasi guru sebagai pahlawan insan cendikia ini bisa menjadi berhasil. Sehingga para guru mampu memahami slogan ini demi perkembangan dan kehidupan para guru yang lebih baik.
     Selain itu pelaksanaan UU guru dan dosen No.14 tahun 2005 tersandung pada kenyataan pembagian anggaran dalam APBN kita. Amanat UUD 1945 telah memberikan sinyal bahwa anggaran untuk pendidikan ditargetkan dana sebesar 20 persen dari total anggaran APBN kita. Namun hingga saat itu, belum ada sinyal dari DPR RI untuk meralisasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Hal ini dilihat sebagai sebuah batu sandungan bagi pelaksanaan UU guru dan dosen No.14 tahun 2005. Maka perlu sebuah ketetapan yang lebih riil dari DPR RI untuk merealisasikan sinyal UUD 1945 ini. 
     Perhitungannya bahwa bila semua guru di Indonesia disertifikasi, maka berapa anggaran yang diperlukan oleh negara untuk membayar semua tunjangan para guru tersebut? Hingga sejauh itu, belum ada dana yang relevan yang disediakan oleh pemerintah kita. Maka tuntutan untuk membayar tunjangan berupa uang bagi tunjangan profesi para guru menjadi sangat berkendala.
    Kini halangan itu berhasil disingkirkan oleh pemerintah RI sebab dalam tahun anggaran 2009 yang lalu pemerintah RI telah memenuhi target anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN.

3. Merealisasikan Idealisme Pendidikan: Sebuah Perjuangan Yang Panjang
     Rabu, 14 Maret 2012, saya memposting gambar tentang situasi para siswa SMA Kristen Atambua kelas XII yang sedang mengikuti Ujian Akhir Sekolah (UAS) tahun pelajaran 2011/2012. Para siswa itu terlihat bingung dan gelisah sebagaimana terekam dalam gambar yang saya posting di email Facebook saya. Tidak berapa lama kemudian seorang teman guru yang berasal dari Banda Aceh memberikan komentar seperti begini:
Ibu Saskia: Siswa pada bengong ada apa nie? Mereka berpikir buat apa belajar karena sudah ada bapak/ibu guru yang sibuk dengan kunci jawaban. Santai akh....?!!!
Saya (Blas MK): Para siswa ini memang selalu begitu bu, mereka selalu membuat guru-gurunya kepala sakit...!!
Ibu Saskia: Hehee...Siswa-siswi sekarang begitu. Beda dengan kita dahulu, takut kalau tidak lulus bukan para siswa yang sakit kepala tapi guru-gurunya yang sakit kepala...
Saya (Blas MK): Perlu perjuangan berat untuk menjadikan para siswa ini menjadi pintar...  (percakapan di FB terhenti)
Ibu guru Saskia adalah seorang guru di Banda Aceh memberikan komentarnya setelah melihat kondisi riil para siswa saya yang sedang mengkiti UAS tahun 2011/2012. 
     Dia menjelaskan kebingungan para siswa ini terjadi karena mereka sedang mengharapkan para gurunya menyiapkan kunci jawaban untuk soal-soal yang diujikan. Bengong dan mengharapkan banyak dari para gurunya. Saya tidak bisa membayangkan karya para guru kita hingga UAS ini bisa diselenggarakan dengan baik. Dari mulai menyiapkan kisi-kisi, mengetik naskah soal di komputer, menyeleksi, mengedit soal hingga mengedarkan soal kepada para siswa di kelas. Setelah mengedar soal, para guru harus mengerjakan soal-soal itu dan maaf memberikan kunci jawaban kepada para siswanya.
    Bila para siswa itu memperoleh nilai tinggi maka para guru akan senang, namun bila para siswa itu memperoleh nilai rendah dan tidak lulus maka para guru menjadi kepala sakit. Bahkan para siswa menjadi beringas hingga melakukan perusakan terhadap fasilitas sekolah, kegiatan brutal dan bahkan pemukulan dan ancaman terhadap para guru yang telah bekerja keras untuk menyukseskan UAS ini.
     Sebuah kenyataan yang sangat disayangkan bahwa para siswa zaman sekarang ini sepertinya telah tergantung bukan hanya 100% kepada gurunya namun telah tergantung seutuhnya dan sepenuhnya kepada para gurunya sendiri, seperti yang dikatakan oleh ibu Saskia dalam komentnya. "Beda dengan keadaan kita zaman dahulu, bila UAS tiba kita selalu kepala pusing, takut jangan-jangan tidak lulus UAS, maka kita selalu berjuang untuk belajar keras, " demikian ibu Saskia.
     Para siswa bermasalah seperti terlibat perkelahian antar siswa, terlibat minum minuman keras, sering absent dan keluar lingkungan sekolah harus memperoleh perhatian secara serius dari guru pembina seperti wali kelasnya. UU guru dan dosen No.14 tahun 2005 telah menggariskan agar para guru kita berkewajiban untuk memberi perhatian kepada para siswa secara adil dan merata, tanpa membeda-bedakan atau melakukan diskriminasi atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, SARA, kondisi fisik tertentu, latar belakang keluarga, status sosial ekonomi dari para peserta didik. Perhatian yang merata dan seimbang merupakan kewajiban guru seturut amanat UU guru dan dosen No.14 tahun 2005, demi meningkatkan mutu dan kualitas para siswa kita.
     Proses pendidikan di sekolah kelihatannya berusaha membentuk dan menciptakan pribadi yang semula begitu nakal menjadi pribadi yang beradab dan santun. Pendidikan kita adalah pendidikan yang berusaha menjadikan atau menciptakan manusia, dengan berusaha menjadi penerang dan pembimbing para siswa kita sendiri. Kita berusaha menciptakan sebuah format seperti yang dituntut dalam idealisme pendidikan kita sendiri yakni pribadi yang Pancasila's dengan penekanan pada keberadaban manusia-manusia muda, melalui penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya ini sebuah perjuangan yang berat, tidak semudah membalikkan telapak  tangan.
     Dalam zaman globalisasi ini, pembentukkan mental dan karakter manusia harus diarahkan agar manusia dapat dan mampu bersaing dalam era globalisasi informasi dan teknologi. Dalam masa krisis multidimensi yang melanda manusia karena globalisasi ini, pendidikan harus mampu menciptakan manusia Indonesia yang benar-benar berakhlak dan berilmu agar dapat keluar dari krisis akibat globalisasi yang semakin merajai dunia ini. Pendidikan kita harus mampu menciptakan sebuah generasi bangsa Indonesia yang bersatu, demokratis dan teknologis. Agenda perubahan paradigma kita dalam era baru ini adalah dari agenda yang sentralistik (terpusat, terarah, terkendali) kepada pendelegasian wewenang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi nasional kita.
     Visi-visi tentang pendidikan yang merupakan idealisme yang sedang kita kejar adalah:
a. Dari metode teaching ke metode learning  yakni dari sistem pengajaran kepada sistem pembelajaran. Bila sistem pengajaran yang kita tekankan maka akan menghasilkan para siswa kita seperti terlihat dalam foro  yang saya posting di FB-ku, yakni para siswa yang sedang melongo menatap bahan ujian dalam kelas. Paradigma pengajaran cenderung melihat siswa sebagai pribadi yang berfungsi pendengar yang pasif. Sementara dalam paradigma learning atau belajar, para siswa menjadi pendengar aktif dan menjadi masyarakat pembelajar yang aktif dan kreatif. Maka mereka akan menjadi para siswa yang cerdas. Sebab aktivitas belajar memungkinkan ada dinamika, ada usaha, ada dorongan ada kemampuan siswa-siswi untuk menemukan dan menciptakan serta mengerjakan hal-hal yang bernilai bagi kehidupannya.
b. Dari metode learning ke metode berbuat (dari belajar menjadi mengerjakan). Belajar tanpa berbuat atau merealisasikan ide dan konsep menjadi mubasir. Di dalam belajar kita melakukan berbagai telaah ilmiah yang berkonsep dan setelah melakukan telaah ilmiah maka kita berjuang untuk merealisasikan konsep yang telah kita buat itu demi kebaikan dan kesejahteraan bersama kita. Beberapa siswa atau bahkan mahasiswa kita di Indonesia telah menjadi mahasiswa atau siswa yang kreatif dengan ikut serta menciptakan beragam benda atau barang yang berguna bagi kehidupan kita sebagai manusia. Beberapa hal yang kita buat dalam tataran praktis misalnya tentang prinsip keadilan, demokrasi, kejujuran, kesucian, kebersamaan, toleransi, merupakan nilai-nilai hasil pembelajaran kita, perlu direalisasikan dalam kehidupan kita setiap hari.  Dengan melakukan apa yang telah kita pelajari, maka kita menjadi manusia yang sungguh berkomitment tinggi terhadap apa yang kita pelajari sendiri.
c. Metode leaning to life together yakni belajar untuk dapat hidup bersama dan berpartisipasi dalam hidup bersama itu. Maka dalam proses ini nilai-nilai dalam hidup bersama sebagai pegangan yang utuh harus ditegakkan. Nilai-nilai itu seperti: nilai Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), nilai perdamaian, nilai toleransi, nilai penghormatan, nilai kejujuran, nilai hati nurani, nilai kebaikan dan nilai keberanian harus selalu diperhatian. Nilai-nilai dalam hidup bersama harus selalu diperhatikan dan ditaati. Nilai-nilai itu membuat kita menjadi berbahagia. Selain-nilai-nilai itu, kita harus memperhatikan norma-norma dalam hidup bersama. Norma-norma itu adalah norma kesopanan, norma tata susila, norma agama, norma moral, norma hukum dan norma teknologis.
Itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang memungkinkan kita dapat hidup bersama (life togetherness). Ada istilah partisipasi dalam kehidupan bersama. Partisipasi berarti kesediaan untuk mau berbagi kepada orang lain, teristimewa membagi sesuatu yang kita miliki kepada orang yang menderita dan kekurangan. Partisipasi juga berarti ikut serta terlibat dalam kegiatan sosial, keagamaan, kedukaan, syukur dan kegembiraan bersama dalam masyarakat.
d. Learning to become theirself  yakni belajar untuk menjadi diri sendiri. Belajar untuk menjadi diri sendiri berarti menjadi subjek untuk diri sendiri, tidak ingin dan selalu membebek atau mengikuti petunjuk orang lain. Menjadi diri sendiri berarti memiliki inisiatif sendiri untuk melaksanakan hal-hal yang bernilai dan hal-hal yang berguna bagi diri sendiri. Setelah kita menjadi diri sendiri maka kita wajib membagikan sedikit dari apa yang kita hasilkan bagi orang lain terlebih bagi orang yang menderita dan dilupakan atau disepelehkan oleh orang lain.
e. Pengembangan potensi emosi, intelektual dan spiritual manusia. Untuk hal ini perlu sarana-sarana untuk pengembangan latihan emosi, intelektual dan spiritual; para siswa sendiri. Misalnya Buletin sekolah sebagai sarana melatih kemampuan menulis para siswa. latihan bela diri untuk sarana melatih emosi dan kegiatan keagamaan seperti doa bersama, pengkotbahan, ibadat bersama sebagai sarana pengembangan spritual manusia.
 4. Upaya Merealisasikan Karier Guru, Tuntutan Profesi dan Kesejahteraan Guru
     Saat ini, pelaksanaan sertifikasi guru yang kian sukses dipandang sebagai langkah baru dalam pelaksanaan ideal guru di era baru ini. Pada tahun 2012, pemerintah telah melakukan uji kompetensi kepada para calon sertifikasi guru. Setelah uji kompetensi barulah para guru mengikuti penilaian portoifolio guru. Sebelumnya pemerintah hanya memperlakukan uji portofolio guru. Bagi yang langsung lulus akan mengantongi sertifikat pendidik, sedangkan yang belum lulus akan mengikuti PPLG. Ujian kopmpetensi guru bukan hanya berlaku bagi para guru sertifikasi saja, namun pemerintah akan melakukan uji kompetensi bagi para guru honorer untuki menjadi PNS. Jangkauan karier guru bukan hanya pada tingkat menjadi guru profesional saja. Kini pemerintah bahkan membuka kemungkinan karier menjadi guru utama, sebuah karier guru setingkat Profesor yang memungkinkan guru bisa memiliki penghasilan 3 kali gaji pokoknya seperti seorang profesor di Perguruan Tinggi (PT).
     Dalam tahun anggaran 2009 yang lalu, pemerintah RI telah memenuhi amanat UUD 1945 telah mengalokasikan Anggaran Pendidikan sebesar 20% dari total jumlah anggaran dalam APBN. Dengan memenuhi amant UUD 1945 ini, maka pemerintah telah memenuhi ketentutan dalam mengalokasikan anggaran bagi pendidikan, khususnya bagi kesejahteraan, profesionalisme guru, kompetensi guru, dan kebutuhan pendidikan yang cukup besar bagi element bangsa dan tanah air Indonesia.

5. Penutup
     Sebuah refleksi kritis tentang guru sebagai pembangun insan cendikia memungkin kita untuk melihat jangkauan kerja dan pemahaman yang utuh dari seorang guru dalam penciptaan manusia Indonesia yang cerdik-Cendikia. Manusia yang dikatakan cendikia adalah manusia yang selalu dapat belajar seumur hidup, mampu merealisasikan apa yang dipelajarinya dengan tindakan atau perbuatan nyata, mampu hidup bersama, mampu menjadi dirinya sendiri dan mampu mengembangkan potensinya sendiri khususnya potensi emosi, spiritual dan intelektual sebagai manusia yang bermoral dan bernorma dalam era globalisasi yang selalu menekankan unsur teknologis. 
     Menciptakan manusia Indonesia yang Cendikia bukanlah sebuah perjuangan sekejab saja. Namun sebuah perjuangan yang panjang, perlu sikap mental dan moral yang tinggi serta kemampuan mendayagunakan segenap kemampuan dan keberadaban manusia yang menjunjung tinggi norma-norma dan mampu memanfaatkan ilmu dan teknologi untuk kehidupan yang lebih baik dan berhasil.


KEPUSTAKAAN:
1. Barker Joel Arthur, Paradigma Upaya Menemukan Masa Depan (Batam: Inter Ajsar, 1999)
2. Indar Djumberansyah, Filsafat Pendidikan, (Surabaya: Karya Abditama, 1994)
3. Tilaar, HAR, Paradigma Baru Pendidikan Nasional ( Rieneka Cipta, 2000)
4. Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam www.tuanguru.net

Hak dan Kewajiban Guru

Mencermati Hak dan Kewajiban Guru Profesional di Era Globalisasi Saat Ini



Penulis: Blasius Mengkaka, S.Fil
Posted: Senin, 19 Maret 2012

1. Pendahuluan
     Seorang guru profesional merupakan seorang guru yang diharapkan dalam amanat UU No.14 tahun 2005. Guru profesional adalah sebutan untuk guru yang telah memiliki sertifikat pendidik berdasarkan UU guru dan dosen tahun 2005 dan berhak atas tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokoknya setiap bulan. Pemberian sertifikat pendidik kepada guru telah melalui mekanisme dan proses yang panjang yakni mulai uji kompetensi, penilaian Portofolio dan PPLG bagi guru yang tidak lulus Portofolio. Persyaratan-persyaratan bagi seorang guru yang mengikuti uji kompetensipun terbilang berat dan sulit.
     Maka dapat dikatakan bahwa guru profesional adalah guru-guru senior untuk mata pelajaran yang diasuhnya. Kesenioritasan para guru itu terlihat dalam tuntutan terhadap kepemilikan ijazah (sarjana atau D4 ke atas), tuntutan golongan dan masa kerja yang bersangkutan, sering sangat sulit dan bahkan hanya bisa dijangkau oleh para guru yang sudah senior. Tuntutan terhadap para guru profesional pun menjadi berat sebab pemberian predikat kepada guru sebagai guru profesional menuntut tanggung jawab besar yang musti diemban oleh guru yang bersangkutan. Orang yang senior berarti orang yang terpandang dan bermartabat tinggi. Demikian juga seorang guru senior - yang dalam tulisan ini disebutkan untuk para guru profesional- adalah guru-guru yang memiliki martabat tinggi di mata masyarakat karena kesenioritasannya sebagai guru profesional.
     Para guru yang disebut sebagai guru profesional hendaknya berusaha untuk membangun kinerja baru yang lebih berbobot dan bernilai. Tulisan ini menyoroti  hak dan kewajiban seorang guru profesional dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai guru profesional. Pertama-tama patut diakui bahwa dengan adanya sertifikat pendidik, maka kedudukan seorang guru telah berubah secara significat. Gambaran tentang jabatan guru telah bergeser ke arah profesi dan bukan pada pekerjaan. Maka pertama-tama kita perlu memahami guru sebagai sebuah profesi yang merupakan tuntutan yang harus diemban oleh seorang guru profesional.
     Gambaran guru sebagai sebuah profesi tentu sangat berbeda dengan gambaran guru sebagai sebuah pekerjaan. Setelah kita memahami gambaran guru sebagai sebuah profesi, maka kita dapat melangkah pada pemahaman tentang hak dan kewajiban guru profesional dan gambaran seorang guru efektif dalam diri guru profesional itu. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca setia.

2. Paradigma Guru Era Baru Adalah Guru Sebagai Sebuah Profesi

 2.1. Profesionalisme Guru
   Sebagai wujud implementasi dan penjabaran UU Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005 adalah pelaksanaan sertifikasi guru dan dosen  yang dilaksanakan secara merata di seluruh Indonesia. Beberapa universitas telah ditunjuk sebagai penyelenggara sertifikasi guru dan dosen sebagai langkah untuk memperoleh sertifikat pendidik bagi para guru dan dosen. Dengan adanya sertifikat pendidik tersebut, guru dan dosen dapat disebut sebagai profesi yang melekat erat dalam dirinya. Hal-hal yang berkaitan dengan profesi adalah:
a. Profesi selalu membutuhkan keterampilan dan keahlian berdasarkan pada pengetahuan/kualifikasi akademik yang formal-teoritis. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh secara formal berkat pendidikan formal yang diterima guru atau dosen yang bersangkutan.
Profesi membutuhkan pengalaman dan pelatihan bertahun-tahun serta melalui sebuah ujian kompetensi yang ketat atas profesi itu. Profesi merupakan sebuah kegiatan sebagai pekerjaan utama dan purna waktu. Profesi sebagai sumber utama nafkah hidup. Sebagai sebuah kegiatan purna waktu, profesi guru tetap melekat dalam diri guru itu sepanjang 24 jam setiap hari, bukan hanya di dalam kelas saja, namun juga di luar kelas.
Aktivitas guru di luar kelas dapat disebutkan seperti menulis di Jurnal Ilmiah, melakukan penelitian Tindakan Kelas (PTK), menyusun bahan seminar dan membuat seminar, menulis buku, membuat telaah kritis atas tulisan-tulisan. Melalui akhtivitas itu, guru menampilkan peranan yang nyata sebagai guru profesional. Jabatannya sebagai guru atau dosen profesional perlu diwujudnyatakan melalui karya intelektual atau karya sebagai cendikiawan/ilmuwan.
Dengan melakukan tindakan intelektual itu, guru dapat menjadikan profesi ini sebagai sumber utama nafkah hidupnya dan bukannya melakukan aktivitas lain seperti pekerjaan menjual ayam dan berdagang yang tidak perlu banyak kemampuan intelektual. Atau dengan kata lain, sebagai sebuah profesi, guru adalah sebuah aktivitas profesi utama dan pertama, bukan sambilan.
b. Sebagai sebuah profesi, guru harus memiliki sebuah asosiasi profesional dan pelatihan institusional yang berjenjang dan berlisensi. Guru juga memiliki kode etik dan prosedur pendisiplinan bagi yang melanggar kode etik itu.
c. Profesi berhubungan dengan layanan publik yang bersifat altruisme, artinya profesi berhubungan dengan pelayanan dan kebutuhan masyarakat yang menginginkan pelayanan yang profesional dari guru.
d. Profesi merupakan karya dan pengabdian dari orang yang bermartabat tinggi, memiliki status yang tinggi di dalam masyarakat dan memiliki gaji yang besar. Status sosial tinggi yang dimaksudkan tidak (hanya) berdasarkan pada keturunan atau berdasarkan silsilah seseorang, namun berdasarkan prestasi, kinerja dan keterampilan serta kemampuannya. Sebagai contoh: putera seorang polisi pun bisa menjadi guru profesional. Demikian juga putera seorang petani, tentara, bupati, kepala desa, camat atau seorang pedagang asongan.
e. Profesi berarti ada otonomi yang besar untuk mengatur dirinya sendiri sehingga terhindar dari intervensi pemerintah. Profesi diatur oleh orang yang senior, praktisi yang dihormati dan orang yang berkualifikasi pendidikan yang tinggi dalam masyarakat.

2.2. Prinsip-Prinsip dan Pemberdayaan Profesi Guru Sesuai UU No.14 Tahun 2005
     Prinsip-prinsip Profesi guru diatur dalam bab III, pasal 7, ayat 1 UU No.14 Tahun 2005. Dalam bagian itu dijelaskan tentang prinsip-prinsip profesi guru sebagai berikut:
1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme
2. Memiliki komitment untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia
3. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang yang sesuai dengan bidang tugas
4. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan
5. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja
6. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat
7. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam menjalankan tugas keprofesionalan
8. Memiliki organisasi profesi yang memiliki wewenang untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan
     Pemberdayaan profesi guru terdapat pada Bab III, Pasal 7 Ayat 2 yaitu pada kalimat: Pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, berkelanjutan dan menjunjung tinggi Hak-Hak Azasi Manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, kemajemukkan bangsa dan kode etik profesi

2.3. Hak-Hak Guru Profesional
     Hak-hak guru profesional terdapat pada pasal 14 UU Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005 yakni:
1. Mendapat jaminan kesejahteraan sosial dan memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum
2. Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja
3. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual
4. Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi
5. Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan
6. Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut serta menentukan kelulusan, penghargaan dan atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan
7. Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas
8. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam melaksanakan organisasi profesi
9. Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi
10. Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya 
     Dalam pasal 15 dijelaskan tentang maksud kebutuhan hidup minumum sebagaimana dimaksudkan pada pasal 14 ayat 1 huruf a meliputi:
1. Gaji pokok
2. Tunjangan yang melekat pada gaji pokok atau penghasilan lain meliputi:
- Tunjangan Profesi (TP)
- Tunjangan Fungsional
- Tunjangan Khusus Seperti: Tunjangan Perbatasan, Tunjangan Daerah Bencana, Tunjangan Daerah Konflik
- Maslahat Tambahan

2.4. Kewajiban Guru Profesional
     Kewajiban Guru Profesional termuat di dalam pasal 20 UU No.14 Tahun 2005, saya akan mengemukakan semua kewajiban guru profesional ini sambil terus menyesuaikan dengan kewajiban-kewajiban yang urgen sebagai guru di sekolah. Kewajiban-kewajiban guru profesional ialah:
1. Membuat perangkat pembelajaran, silabus, program tahunan, program semester, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan LKS
2. Melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas
3. Melakukan kegiatan penilaian: seperti ulangan harian, midsemester, ujian semester, ujian kenaikan kelas dan Ujian Akhir Sekolah (UAS)
4. Melakukan analisi hasil ulangan dan ujian sekolah
5. Menyusun dan melaksanakan program remidial dan pengayaan
6. Mengisi daftar nilai siswa
7. Melaksanakan kegiatan membimbing kepada guru lain dalam proses kegiatan belajar mengajar
8. Membuat alat peraga atau media pembelajaran
9. Menumbuhkembangkan sikap menghargai karya seni
10. Mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum
11. Melaksanakan tugas tertentu di sekolah seperti: piket, wali kelas, wakasek, staff wakasek, panita ujian, dll
12. Mengembangkan program pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya
13. Membuat catatan tentang hasil belajar siswa
14. Mengisi dan meneliti daftar hadir siswa sebelum memulai pengajaran
15. Mengatur petugas kebersihan ruang kelas, sekolah atau ruang praktekum
16. Mengumpulkan dan menghitung angka kredit untuk kenaikan pangkatnya
17. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan Jenis Kelamin, agama, suku, ras, antar golongan (SARA) dan kondisi fisik tertentu, latar belakang keluarga, status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran
18. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa

2.5. Sanksi dan Pemberhentian Guru
     Sanksi dan pemberhentian guru diatur dalam UU No.14 tahun 2005 Pasal 30.
Ayat 1, Guru dapat diberhentikan dengan hormat sebagai guru karena:
a. Meninggal dunia
b. Mencapai batas usia pensiun
c. Atas permintaan sendiri
d. Sakit jasmani dan rohani sehingga tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 bulan
e. Berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara guru dan penyelenggara pendidikan.

Ayat 2, Guru dapat diberhentikan tidak dengan hormat sebagai guru karena:
a. Melanggar sumpah dan janji jabatan
b. Melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama
c. Melalaikan kewajiban dalam melakukan tugas selama satu bulan atau lebih secara terus-menerus
3. Pemberhentian guru dilakukan sesuai dengan UU
4. Pemberhentian guru karena batas usia pensiun dilakukan sampai berumur 60 tahun
5. Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah diberhentikan sebagai guru kecuali, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai PNS.

Pasal 31 UU No.14 Tahun 2005:
1. Pemberhentian guru dapat dilakukan setelah yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk membela diri
2. Guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diberhentikan tidak atas permintaan sendiri, memperoleh kompensasi finansial sesuai perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

3. Beberapa Catatan Kritis
     Pembahasan tentang hak dan kewajiban guru profesional mau atau tidak harus dibuat berdasarkan pendasaran Undang-Undang yang relevan yakni UU No.14 tahun 2005, yang berbicara tentang guru dan dosen. Meskipun demikian ada beberapa hal yang perlu ditambahkan tentang konsep guru ideal dan kode etik profesi guru yang perlu ditaati guru sebagai bentuk tanggung jawab keprofesionalannya.
a. Tentang etika profesi guru telah disinggung dalam UU No.14 tahun 2005, di mana di dalam UU No.14 Tahun 2005 itu dikemukakan tentang kewajiban guru untuk membentuk organisasi profesi guru baik ditingkat nasional maupun tingkat daerah. Pemerintah nasional maupun pemerintah daerah harus mendukung organisasi profesi guru agar organisasi profesi itu mampu menyusun etika profesi guru sebagai aturan, rambu-rambu dan pegangan bagi guru dalam menjalankan hak dan kewajiban profesionalnya.
     Etika profesi guru dapat berupa self kontrol yakni sebagai sarana mengontrol diri guru sendiri agar dapat menjalankan tugasnya dan dapat memperoleh haknya sebagai guru dengan sukses. Organisasi profesi guru sebagai built-in machanism berarti organisasi profesi harus menjaga martabat serta kehormatan profesi guru.  Organisasi profesi guru harus melindungi masyarakat dari segala bentuk penyalahgunaan profesi. Kode etik adalah bentuk aturan tertulis yang disusun secara sistematik berdasarkan prinsip-prinsip moral sebagai alat untuk menghakimi segala tindakan yang secara logis rasional berlaku umum (common sense) dianggap melanggar kode etik.
     Pelanggaran terjadi apabila kenyataan jauh dari harapan. Sanksi pelanggaran lebih kepada kesadaran profesional sendiri dari para guru, tidak berdasarkan sanksi-sanksi yang bersifat tegas. Kesadaran itu tumbuh dari norma-norma yang dibangun dalam diri manusia itu, seperti moral, agama, sosila, kesopanan, hukum dan adat istiadat. Setiap UU sebagai norma hukum memiliki sanksi yang tegas kepada pelanggarnya. Sanksi-sanksi itu telah ditetapkan sesuai dengan UU. Legalitas sanksi itu bisa diperjelas melalui keputusan pengadilan yang mengikat dan menjatuhkan sanksi. Maka organisasi profesi nasional atau daerah dari organisasi profesi guru yang dibentuk guru harus melaporkan kode etik yang telah disusunnya kepada Pengadilan Negeri (PN) setempat agar bila terjadi kesalahan maka ada sanksi hukumnya.
    Tugas organisasi profesi guru salah satunya ialah menyusun kode etik profesi guru. Setelah disusun maka kode etik guru itu harus disahkan atau dilaporkan ke Pengadilan Negeri (PN) setempat untuk memperoleh legalitas hukum atas kode etik itu.
     Kode etik profesi guru dianggap sebagai Akta Perdamaian (AK) antara masyarakat dengan seorang guru profesional. Kode etik menjadi sarana penghubung antara harapan masyarakat dan pengabdian tanpa pamrih dari guru profesional. Beberapa hal sebagai kelemahan dari kode etik profesi guru adalah kurangnya sosialisasi tentang isi atau substansi kode etik itu sendiri sehingga masyarakat umum menjadi rendah pengetahuannya tentang substansi kode etik baik guru, dokter, dll.
     Akibat kurang tahu dan kurang paham maka sangat sulit untuk memahami sebuah profesi (guru, dokter, dll). Selain itu ditemukan bahwa banyak guru (teristimewa guru muda) yang mengemban profesi itu sendiri, kurang menjaga martabatnya sendiri sebagai guru profesional. Kultur kurang menjaga martabatnya sendiri sebagai orang yang berprofesi sebagai guru, mengakibatkan ia kurang dihargai atau masyarakat kurang menghargai pribadi tersebut.
     Masalah moral, masalah norma kesopanan, norma teknologis, norma adat, norma hukum dan norma agama menjadi faktor yang menentukan dalam menjaga martabat seseorang sebagai guru sebagai orang yang sangat dihormati masyarakatnya. Bila orang mentaati norma-norma yang ada dalam masyarakat maka ia akan dihargai. Sedangkan bila orang tidak mentaati norma-norma dalam hidup masyarakat, maka ia akan kurang dihargai.
     Sekarang ini norma teknologi sudah dianggap dan diterima sebagai sebuah norma yang penting dalam hidup bermasyarakat dan berprofesi. Penggunaan teknologi yang canggih dapat memperlancar urusan dalam hidup kita bahkan norma teknologi dapat mempertinggi kualitas, prestasi, karya dan kesuksesan sebuah profesi, termasuk keberhasilan profesi sebagai guru.

5. Penutup
     Sebagai penutup dari tulisan ini, saya ingin mengulang kembali pemahaman tentang guru yang efektif. Guru yang efektif sebagai mana disuarakan oleh para ahli pendidikan yakni:
1. Guru yang memiliki keterampilan personal yakni kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan terhadap peserta didik dan keihlasan hati
2. Guru harus mampu menjalin hubungan yang baik dengan seluruh peserta didik
3. Guru harus mampu menerima, mengakui dan memperhatikan peserta didik secara ikhlas
4. Guru harus menunjukkan minat dan antusiasme yang tinggi dalam mengajar siswa
5. Guru harus mampu menciptakan atmosfir untuk tumbuhnya kerja sama dan kohesivitas dari para peserta didik
6. Guru harus mampu melibatkan peserta didik dalam mengorganisasikan kegiatan pembelajaran
7. Guru harus mendengarkan peserta didik dan menghargai bahaya untuk bicara dalam setiap diskusi
8. Guru harus mampu meminimalkan faksi-faksi di dalam kelas.
     Demikianlah bahasan tentang tema ini. Semoga bahasan ini dapat berguna bagi para pembaca setia.


BACAAN DAN SUMBER PENUNJANG:
1. UU No.14 Tahun 2005 dikeluarkan oleh Sekretaris Negara RI
2. gusfenilhelmi.blogspot.com
3. susid4.blogspot.com

Kamis, 15 Maret 2012


KISI - KISI PENULISAN SOAL UAS
MATA PELAJARAN                          :  IPS TERPADU











NO STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR INDIKATOR MATERI
1 Memahami lingkungan mendeskripsikan kehi menjelaskan pengertian pengertian kurun waktu pra aksara
  kehidupan manusia dupan pada masa pra dan kurun waktu masa pra   
    aksara aksara   
         
2 memahami perkembangan Mendeskripsikan per Mendeskripsikan masuk  Peranan perdagangan bagi masuk dan 
  masyarakat sejak masa kembangan masyarakat dan berkembangnya agama berkembangnya agam Hindu - Budha
  Hindu Budha Sampai masa kebudayaan, dan peme Hindu - Budha di Indonesia di Indonesia
  Kolonial Eropa rintahan pada masa    
    Hindu - Budha serta pe    
    ninggalan - peninggalan    
    nya    
         
3 Memahami perkembangan mendeskripsikan per proses masuknya bangsa Menguraikan proses masuknya
  masyarakat sejak masa kembangan masyarakat bangsa Eropa ke Indonesia bangsa - bangsa Eropa ke Indonesia
  Hindu Budha sampai masa dan pemerintah pada    
  kolonial Eropa masa kolonial Eropa    
4     cara - cara yang digunakan  Mengidentifikasi cara - cara yang di
      bangsa Eropa untuk  gunakan bangsa eropa untuk menca
      mencapai tujuan pai tujuan
         
5   Mendeskripsikan perke peranan pedagang dan cara Mendeskripsikan cara yang digunakan
    mbangan masyarakat,  yang digunakan oleh para oleh pedagang dan para wali 
    kebudayaan, dan peme wali ( ulama ) dalam proses  ( ulama ) dalam proses awal perkemba
    rintahan pada masa  awal perkembangan agama ngan agama Islam di Indonesia
    Islam di Indonesia Islam di Indonesia  
    serta peninggalan - pe    
    ninggalannya    
         
 



KISI - KISI PENULISAN SOAL UAS
MATA PELAJARAN                          :  IPS TERPADU

6 Memahami proses kebangkitan nasional. Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Mengidentifikasi kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial
7 Memahami usaha persiapan kemerdekaan Mendeskripsikan peristiwa-peristiwa sekitar proklamasi dan proses terbentuknyanegara kesatuan Indonesia   Peranan PPKI dalam proses persiapan kemerdekaan Indonesia Mengidentifikasi dibentuknya PPKI  dan persiapan kemerdekaan Indonesia
8 Memahami usaha persiapan kemerdekaan  Mengidentifikasi usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia Faktor –faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda karena Belanda ingin berkuasa kembali di Indonesia Mendiskripsikan faktor –faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda
9 Memahami usaha persiapan kemerdekaan Mendekrip-sikan perjuangan bangsa Indonesia merebut Irian Barat Latar belakang terjadinya perjuangan mengembalikan Irian Barat   latar belakang terjadinya perjuangan mengembalikan Irian Barat




















Kewirausahaan

Pengajaran Kewirausahaan dan Problemnya

Oleh : ELFINDRI
(Profesor Ekonomi SDM Unand)





>
Mengajarkan kewirausahaan menyiapkan pe­serta didik untuk memilih menjadi self employed, bukan utamanya menjadi pekerja dengan upa­han dengan orang lain atau perusahaan, (El­findri, 2011)

Akhir akhir ini timbul kesadaran akan kenyataan bahwa pengangguran sarjana semakin meningkat. Jika  pengangguran terbuka pada kisaran 7,5 persen pada tahun 2011, angka pengangguran sarjana ditemukan  pada ki­saran 5-40 persen, dan pe­ngang­guran untuk bidang-bidang tertentu bahkan sudah lebih tinggi dan mengkha­watirkan. Oleh karenanya mesti dilakukan cara untuk mengatasi hal ini.

Tingginya pengangguran sarjana disebabkan karena terbatasnya lapangan kerja formal, dan fresh graduates  tidak siap untuk bekerja secara mandiri. Pengalaman negara maju, seperti Amerika Serikat dan Singapura, me­nun­jukkan jumlah mereka yang mampu bekerja sebagai self employed adalah sekitar 2,5-5 persen dari total ang­katan kerja. Sementara data nasional menunjukkan bahwa Indonesia baru memiliki para entrepreneur sekitar 0,7 per­sen dari total angkatan kerja.

Dari sisi pengembangan di perguruan tinggi, konvensi synergy-Bussiness-Intelectual-Government (BIG) telah pula disambut mentri pendidikan nasional, sebagai sebuah strategi gerakan untuk me­lahirkan  wirausahawan ter­didik. Dengan membentuk satuan tugas di tingkat direk­torat pendidikan tinggi. Ditar­getkan setiap tahun akan melahirkan sebanyak 500.000 wirausahawan baru sampai tahun 2014, dan sebanyak 5 juta orang sampai tahun 2025.

Mengingat kenyataan de­mi­kian, maka proses pen­didikan dan hidup generasi yang akan datang mesti mendorong agar mampu menjadi wirausahawan. Persoalannya adalah dimana proses yang menyebabkan  mereka menjadi wirasuahawan? Lebih khusus pada pendidikan pendidikan tinggi?

Unand akan besar se­kiranya mampu menghasilkan kekhasan, dimana para alum­ninya semakin kuat dan  sanggup menjadi wira­usa­hawan yang baik, selepas melalui proses pendidikan. Pertanyaannya adalah dimensi mana pendidikan wirausaha itu? Bagaimana menghasilkan value wirausaha dalam system pendidikan yang ada di pen­didikan tinggi, dan bagaimana strategi dan metoda pem­belajaran di Unand untuk menghasilkan wirasuahwan yang diinginkan? Tulisan singkat ini berbagi dan menge­mukakan gagasan.  

Dimana Dimensi “Ranah” Wirausaha?

Kewirausahaan dari sisi pedagogi masuk ke seluruh ranah, kognitif, psikomotorik, soft skills dan karakter (El­findri, Lilik Hendrajaya dan Henmaidi, 2011).

Kita mengenal ada be­berapa hak dan keperluan manusia agar bisa bertahan. Salah satunya adalah hak untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena pendidikan akan menghasilkan banyak man­faat di kemudian hari. Dari berbagai dimensi pendidikan yang diperoleh manusia, maka beberapa unsur mesti lengkap diperoleh, diantaranya adalah pemenuhan aspek kognitif, aspek psikomotorik (ke­teram­pilan), dan aspek soft skills. Kognitif dan psikomotorik adalah masuk ke dalam di­mensi hard skills. Sementara dimensi soft skills adalah aspek-aspek perangkat lunak yang dimiliki oleh manusia yang dapat menghasilkan kebermanfaatan dari kognitif dan soft skills tadi.

Jiwa wirasuaha adalah bagian dari aspek soft skills, disamping dari kemampuan komunikasi, teamwork, ker­jakeras, integritas, risk taker, serta beberapa aspek penun­jang lainnya. Oleh karenanya dimensi  kewirausahaan akan semkin lengkap ketika unsur unsur soft skills lainnya juga diperoleh secara baik, baik yang turun secara genetis, maupun yang dipelajari dari pendidikan di rumah, sekolah dan lingkungan.

Pendidikan bisnis berbeda dengan pendidikan wirausaha. Menurut Blawatt (1998) di­kutip oleh Buang dan Murni (2006) bahwa peranan pen­didikan bisnis bertujuan supaya pelajar dapat me­mahami prinsip bisnis, ka­edah dan teknik untuk mengo­perasikan perusahaan, belajar melalui pengalaman orang lain dalam bidang bisnis dan menggabungkan prinsip, ka­edah dan pengetahuan bisnis untuk diaplikasikan dalam pengelolaan perusahaan. Se­hingga pengajaran bisnis akan melahirkan kemahiran yang dapat digunakan oleh majikan.

Sementara pendidikan kewirausahaan menurut Bla­watt (1998) mempunyai tujuan yang lebih luas dan menye­luruh yang meliputi orientasi pendidikan bisnis dan ga­bungan pembangunan orientasi diri menjadi wirausaha.. Pendidikan wirausaha ter­fokus kepada pencarian peluang bisnis, kreatif dan produktif. Sehingga tidak salah kita menyimpulkan penyiapan pendidikan kewirausahaan adalah membentuk watak dan karakter, ini  dihasilkan tidak saja dalam pengajaran, tetapi dalam proses learning, aplikasi dan berulang ulang dikerjakan sehingga suatu saat menjadi suatu dimensi karakter.

Pertanyaannya adalah apa beda wirausaha dengan ka­rakter? Jika wirausaha masih dalam domain otak kanan, sesuatu sifat yang tumbuh dari proses pendidikan, se­mentara karakter ke­wira­usahaan adalah pembiasaan yang tumbuh dari proses yang berulang ulang diterima oleh seseorang sebagai akibat dari proses pendidikan, proses pemahaman hidup, peng­lihatan, pendengaran, wisdom, dan “jam terbang”. Oleh ka­renanya, sekiranya kita hanya menganggap kewirausahaan adalah hanya sebagai dimensi kognitif, maka dia hanya diajarkan di  dalam kelas, untuk mengetahui tentang perkembangan teori, per­kembangan metodologi dan contoh contoh. Untuk yang bersikap dimana wirausaha hanya dalam bentuk kognitif, maka tambahan pengajaran hanyalah untuk menambah wawasan dari peserta didik. Inilah yang banyak diprak­tekan dalam pembelajaran kewirausahaan selama ini.

Tambahan wawasan ke­wirausahaan juga bisa di­peroleh dari mendengar se­ringkali dan bertukar pikiran dari mereka mereka yang pernah menjadi sukses dalam berwirausaha. Dalam konteks ini, kembali, hasil yang di­peroleh adalah masih dalam konsep pemahaman, dan  saat bersamaan tumbuhnya soft skills.

Oleh  karenanya, dimensi manakah kewirausahaan yang diperlukan pada masa yang akan datang. Maka  dimensi dimana jiwa wirausaha yang sudah terbiasa dan dalam pembiasaan pola dan tingkah laku dalam  bekerja. Sehingga dengan tertanamnya inter­nalisasi ini menjadikan sikap dan perilaku orang akan semaki mandiri. Kelak, ketika bekerja sebagai pekerja in­dividu, maka mereka akan menjadi wi­rausahawan ekonomi.

Jika kelompok ini menge­lola bidang social akan me­lahirkan apa yang kita dengan sebagai social enter­pre­uner­ships. Demikian  juga ketika bekerja sebagai karyawan atau pegawai negeri, maka pekerjaan sebagai buruh dan pegawai negeri, menjadi en­terpreuner pegawai negeri. Oleh karenanya, wirausaha lebih kepada pembiasaan, sehingga sangat penting menginter­nalisasinya ke dalam system pembelajaran.

Hanya sedikit dari dosen yang pernah merasakan dan menjadi wirausaha, temuan yang sama dilakukan oleh Buang dan Murni (2006:185) bahwa banyak yang menga­jarkan kewirausahaan adalah pengajaran bisnis baik di sekolah menengah kejuruan maupun di perguruan tinggi. Pada kasus seperti ini diduga pembelajaran wirausaha ter­jebak dengan ‘sindrom kog­nitif’. Dimana cara pandang bahwa mengajarkan ke­wira­usahaan hanya menganggap sebagai bahan ajar kewira­usahaan untuk diketahui. Sehingga sasaran pem­be­lajaran­nya hanyalah untuk peningkatan aspek kognitif.

Proses berikutnya telah pula dilakukan berbagai bentuk pembelajaran dimana menonjolnya pendidikan ka­rakter ‘charakter education”. Setidaknya dalam 3 tahun terakhir, telah pula di­lak­sanakan kuliah umum ke­wirausahaan. Setidaknya sekitar 50 kali pertemuan antara para wirausahawan sukses dalam bentuk seminar atau kuliah umum yang di­hadiri oleh mahasiswa dan dosen. Proses ini cukup ber­jalan dengan waktu yang cukup terbatas. Proses per­temuan berupa tatap muka dalam kelas, dan tanya jawab. Sehingga unsur kognitif ke­wirausahaan juga lebih me­nonjol, namun juga sering menimbulkan berbagai aspek yang menyebabkan “inspiring” dan “trigerring” agar peserta terinspirasi, Sekali lagi, usaha ini bermanfaat, namun jelas masih pada taraf kognitif.

Bentuk lain yang di­kem­bangkan adalah tersedianya dana “kompetisi” untuk be­berapa orang dosen yang aktif dalam membina anak didik peserta program menum­buhkan kewirausahaan ini. Dari pelaksanaan dua tahun anggaran terakhir, 2008-2009, memperlihatkan bahwa proses dan desain pendidikan kewira­usahaan dilakukan dengan persiapan yang terbatas, baik dari pembimbing dan ma­hasiswa yang ikut. Evaluasi  implementasi di Kopertis Wilayah X, mem­perlihatkan program ke­wira­usahaan mahasiswa juga menga­lami kendala yang besar, diperkirakan hanya 40 persen dari pembentukan kelompok yang menujukkan  keberhasilan, dalam dimensi establish usaha dan per­kembangan.

Sementara sisa kelompok usaha yang dikembangkan mengalami mati suri. Mati surinya inisiasi usaha ma­hasiswa melalui skim ke­giatan ini disebabkan karena  dua hal. Pertama kurangnya peranan pendamping dari dosen, karena dosen yang aktif sangat terbatas pengalaman kerjanya dalam menjalankan “business”. Selain dari sisi mahasiswa kegagalan te­rutama karena kesalahan dalam memilih usaha, ke­tekunan yang terbatas, ter­masuk ‘kekurangjujuran.

Menyadari hal ini Unand Entrepreunership Center (UEC) juga dbentuk wadahnya. Tugas utama adalah melaksanakan kegiatan akademik tentang kewirausahaan, dan di­harap­kan dapat mengembangkan bentuk kegiatan ‘magang’ bagi mahasiswa dari kegiatan yang disusun bersama oleh UEC. Kegiatan UEC juga masih terbatas, dan masih mengem­bangkan bentuk bentuk pe­ngem­bangan diri dan fungsi. Apapun yang sudah di­lakukan selama ini adalah upaya yang perlu dilanjutkan. Namun sangat ditegaskan bahwa pembelajaran ke­wirausahaan masih terjebak dengan syndrom kognitif. Diperlukan pengembangan bahan, content, tahapan pem­belajaran, dan sistem ke­berlangsungan. Agar Unand dapat menjadikan kewira­usahaan sebagai salah satu ‘niece’ dari kekuatan proses pembelajaran yang ada.

Fakultas dan jurusan yang berminat dapat merumuskan keempat tujuan sebagai ba­gian dari tujuan yang khas, karena dengan demikian akan dapat seiring dengan pengem­bangan bahan, persiapan labor, persiapan dosen dan isntruk­tur, penilaian mahasiswa, dan juga implikasi proposal ber­saing untuk pengembangan bisnis kecil oleh mahasiswa sebagai salah satu pengem­bangan.

Untuk menjadikan pen­didikan kewirausahaan ber­jalan dengan sebagaimana yang diinginkan, 3 bentuk tahapan diperlukan. Pertama adalah tahapan dalam meng­hasilkan wirausaha dalam proses pendidikan dengan tiga tahap (a) Pembenihan; (b) Penempatan; (c) Pengem­bangan. Buku Rhenald Kasali (2010) Wirausaha Mandiri: ketika Anak sekolah berbisnis, gramedia dapat memberikan inspirasi terhadap anak anak berhasil menjadi wirausaha selepas di perguruan tinggi. Demikian juga buku Nanang Qosim Yusuf (2009) sebaliknya menjelaskan bagaimana ta­hapan  Jejak-jejak Makna Basrizal Koto menjadi entre­preneur mulia. Termasuk penjelasan yang mendalam buku Elfindri dkk. (2010) tentang beberapa suku Minang yang berhasil dalam mengem­bangkan bisnis dari kecil sampai besar.

Human Enterpreneur Index

Untuk mewujudkan hal ini, maka mesti dapat dimulai dengan memetakan maha­siswa semenjak masuk ke perguruan tinggi. Human Enterpreneur Index (HEI) dapat digunakan sebagai dasar untuk penetapan proses identifikasi. Untuk keperluan ini Unand dapat mengem­bangkan system informasi HEI, sehingga peta akan kondisi awal dari mahasiswa dapat diketahui. Pada tahap ini, baik dosen pengasuh dan instruktur juga melalui proses ini, terlebih dahulu diketahui sampai seberapa tingkat pencapaian HEI.

Pada tahap ini, agar hasil berguna dan proses belajar semakin membaik dari waktu ke waktu, maka  diperlukan: (a). Penyusunan dan pengem­bangan materi dan bahan ajar, (b). Penyusunan metoda pembelajaran, (c). Pengembangan tenaga dosen dan praktisi, (d). Pengembangan bidang pem­belajaran, dan e. Pengem­bangan aspek legal

Seluruh tahap ini di­lihat­kan dalam Tabel 1 di atas, dan sebuah catatan bahwa jika kita ingin menonjolkan ke­khasan di masing masing PT, maka pembelajaran ke­wira­usahaan tidak dapat  pe­la­jaran 3 SKS, namun  minimal 9 SKS seperti yang ditampilkan dan diusulkan dalam table 1 di atas. Per­siapan dan pe­matangan ke arah ini menjadi atensi utama.

[Sumber : Harian Haluan, Kamis 15 Maret 2012]