Menjadi Pembangun Insan Cendikia (Sebuah Refleksi Kritis Terhadap Guru di Era Baru)
Penulis: Blasius Mengkaka, S.Fil
Posted: Jumat, 16 Maret 2012
1. Pendahuluan
Era baru guru telah bergulir sejak
keluarnya UU No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Melalui perdebatan
sengit dan menghabiskan banyak waktu akhirnya DPR RI mengesahkan UU
tentang guru dan dosen yang di dalamnya berisi tentang arah baru dalam
karier guru dan dosen. Pelaksanaan UU no.14 tahun 2005 itu pada awalnya
penuh dengan beragam polemik dan perseteruan yang alot. Hal ini
diakibatkan oleh wacana yang masih hangat antara warisan-warisan
paradigma tentang guru pada masa lalu yang penuh simbol, lambang dan
kekurangan terhadap keberadaan seorang guru di Indonesia.
Model pendidikan RI sebelum
keluarnya UU guru dan dosen No.14 tahun 2005 digambarkan sebagai model
pendidikan warisan Orde Lama dan Orde Baru yang sangat sentralistik dan
penuh simbol. Para guru tidak dilihat sebagai sebuah jabatan dan profesi
yang penuh tantangan dan perjuangan. Ada kekuatiran bahwa bila keadaan
para guru kita di Indonesia masih berada dalam situasi yang lama maka
akan berimbas pada ketidakberdayaan dan bahkan kekalahan yang akan terus
berlanjut pada masyarakat Indonesia dalam menghadapi arus globalisasi
yang semakin deras melanda masyarakat dan bangsa kita.
Dengan terbitnya UU tentang guru
dan dosen yang baru ini (UU No.14 tahun 2005), para guru dapat menjadi
insan pelopor utama bahkan menjadi pembimbing terdepan masyarakat dalam
menghadapi krisis yang menimpah bangsa Indonesia akibat kemajuan
globalisasi yang terus melanda masyarakat Indonesia. Kemajuan
globalisasi ekonomi, teknologi dan informasi, agama dan seterusnya
dikuatirkan akan menimbulkan dampak yang significant dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Maka pemerintah perlu memikirkan langkah strategis
yang relevan agar masyarakat Indonesia bisa kuat dan sanggup menghadapi
krisis multidimensi ini.
Tulisan ini menghantarkan pembaca
untuk memahami peranan guru sebagai pembangun insan Cendikia yang
keberadaannya diyakini sebagai kunci dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam era globalisasi ini.
2. Tantangan Pelaksanaan UU No.14 Tahun 2005
UU No.14
Tahun 2005 yang baru terbit ketika itu telah disambut oleh seluruh
kalangan di Indonesia. Berbagai diskusi dan tanggapan mengalir deras.
Masing-masing pihak menyodorkan beragam ide-ide dan gagasan yang menarik
tentang guru di era baru nanti, khususnya dalam era globalisasi ini.
Kolom-kolom mass media penuh opini, ide dan gagasan dari para pakar
pendidikan baik dalam maupun luar negeri. Salah satu hal yang
didiskusikan adalah tentang pelaksanaan sertifikasi guru dan dosen yang keberadaannya merupakan amanat UU guru dan dosen No.14 tahun 2005 demi mencapai profesionalisme guru dan dosen.
Character dan pola pikir masyarakat
Indonesia telah lama beranggapan bahwa guru adalah sebuah pekerjaan
bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Paradigma pahlawan tanpa tanda
jasa telah lama merasuk dan telah diinternalisasi dan disosialisasikan
masyarakat sejak lama, yakni sejak masa Sekolah Dasar. Dalam nyanyian
hymne guru yang selalu dinyanyikan pada setiap kali upacara bendera pada
hari senin setiap minggu di sekolah-sekolah dari TK hingga SMA di
Indonesia, para siswa selalu menyanyikan lagu hymne guru sebagai
berikut:
Engkaulah patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
Lagu hymne guru yang dinyanyikan ini
telah membentuk karakter dan presepsi masyarakat tentang keberadaan
guru-guru kita di Indonesia ini. Presepsi bahwa guru adalah seorang
pahlawan tanpa tanda jasa maksudnya guru adalah seorang pahlawan yang
diakui namun jasa-jasanya kurang dihargai secara bagus oleh negara.
Seringkali jasa-jasanya hanya berupa simbol-simbol saja. Simbol-simbol
itu berupa satya lencana dan tanda-tanda jasa
pengabdian. Namun realisasi simbol-simbol itu, berupa penghargaan
berwujud uang atau materi tidak ada. Akibatnya karena kesulitan ekonomi
dan tidak adanya penghargaan berupa uang yang diberikan negara sebagai
realisasi dari simbol itu, mengakibatkan para guru menjadi merana dalam
kesulitan yang besar yakni kesulitan ekonomi sejak lama.
UU guru dan dosen No.14 tahun 2005
dirasa telah mendudukan penghargaan yang nyata terhadap seorang guru.
Sertifikasi guru dan dosen telah berhasil dilaksanakan pada berbagai
daerah di Indonesia. Para guru sendiri melalui Organisasi Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI) menyadari bahwa ada sesuatu yang salah
dalam lagu hymne guru RI tersebut. Lagu hymne guru itu sendiri merupakan
sebuah lagu hymne bagi guru Republik Indonesia yang diciptakan oleh
komponis Sartono.
Maka para petinggi PB PGRI segera
melakukan pendekatan kepada komponis itu dan melalui surat Pengurus
Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) No. 447/Um/PB/XIX/2007
pada tanggal 27 November 2007, secara resmi ditetapkan pergantian syair
dari lagu hymne guru menjadi:
Engkaulah patriot pahlawan bangsa
Pembangun insan Cendikia
Dengan adanya ketetapan surat PB PGRI
ini maka secara resmi terjadi perubahan paradigma guru dari seorang
pahlawan tanpa tanda jasa menjadi seorang pembangun insan Cendikia.
Perubahan pemahaman ini tentu saja membutuhkan sosialisasi yang luar
biasa. Bukan saja bagi masyarakat kita saat ini, para siswa maupun
masyarakat kita dari generasi siswa masa lampau.
Sosialisasi diharapkan mampu
mengubah citra dan pemahaman tentang guru sebagai pembangun insan
cendikia. Ketetapan PB PGRI ini diharapkan membawa implikasi yang luas
bagi pemahaman yang baru tentang guru di era globalisasi yang berperanan
sebagai pembangun insan cendikia bagi generasi bangsa dan generasi
manusia di dunia pada abad sekarang ini. Ketetapan baru PB PGRI
diumumkan kepada seluruh masyarakat dan diulas dalam berbagai media
termasuk dalam Harian Umum KOMPAS.
Pemahaman yang baru dari masyarakat
tentang guru secara resmi terus bergulir seriring dengan kemajuan dan
keberhasilan para guru dalam program sertifikasi sebagai bagian dari
peningkatan karier dan kompetensi para guru menuju profesionalisme.
Dalam slogan ini, pekerjaan guru bukan lagi dilihat sebagai sebuah
pekerjaan bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Namun guru telah
menjadi sebuah profesi yang menuntut kompetensi guru dan peningkatan
penghargaan yang luar biasa. Penghargaan terhadap guru bukan lagi berupa
simbol dan lambang, namun telah menjadi nyata, riil dan ada yakni
berupa uang yang besarnya bukan kecil namun sebesar 1 kali gaji pokok
dari guru yang bersangkutan.
Surat PB PGRI tentang perubahan
hymne ini diharapkan mampu melincinkan jalan bagi pelaksanaan
sertifikasi guru terutama bagi peningkatan penghargaan bagi seorang guru
bukan hanya berupa dana-dana yang diterimanya namun berupa penghargaan
yang lebih riil terhadap kinerja guru tersebut. Sosialisasi tentang
perubahan hymne ini tidak selalu mudah sebab beberapa tahun setelah itu,
banyak guru sendiri sering menyebut dan memahaminya secara salah.
Sosialisasi yang kurang mengakibatkan presepsi tentang guru sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa itu masih ada, bahkan oleh para guru sendiri.
Perlu usaha yang lebih keras agar ke depan sosialisasi guru sebagai
pahlawan insan cendikia ini bisa menjadi berhasil. Sehingga para guru
mampu memahami slogan ini demi perkembangan dan kehidupan para guru yang
lebih baik.
Selain itu pelaksanaan UU guru dan
dosen No.14 tahun 2005 tersandung pada kenyataan pembagian anggaran
dalam APBN kita. Amanat UUD 1945 telah memberikan sinyal bahwa anggaran
untuk pendidikan ditargetkan dana sebesar 20 persen dari total anggaran
APBN kita. Namun hingga saat itu, belum ada sinyal dari DPR RI untuk
meralisasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Hal ini dilihat
sebagai sebuah batu sandungan bagi pelaksanaan UU guru dan dosen No.14
tahun 2005. Maka perlu sebuah ketetapan yang lebih riil dari DPR RI
untuk merealisasikan sinyal UUD 1945 ini.
Perhitungannya bahwa bila semua
guru di Indonesia disertifikasi, maka berapa anggaran yang diperlukan
oleh negara untuk membayar semua tunjangan para guru tersebut? Hingga
sejauh itu, belum ada dana yang relevan yang disediakan oleh pemerintah
kita. Maka tuntutan untuk membayar tunjangan berupa uang bagi tunjangan
profesi para guru menjadi sangat berkendala.
Kini halangan itu berhasil
disingkirkan oleh pemerintah RI sebab dalam tahun anggaran 2009 yang
lalu pemerintah RI telah memenuhi target anggaran pendidikan sebesar 20%
dari APBN.
3. Merealisasikan Idealisme Pendidikan: Sebuah Perjuangan Yang Panjang
Rabu, 14
Maret 2012, saya memposting gambar tentang situasi para siswa SMA
Kristen Atambua kelas XII yang sedang mengikuti Ujian Akhir Sekolah
(UAS) tahun pelajaran 2011/2012. Para siswa itu terlihat bingung dan
gelisah sebagaimana terekam dalam gambar yang saya posting di email
Facebook saya. Tidak berapa lama kemudian seorang teman guru yang
berasal dari Banda Aceh memberikan komentar seperti begini:
Ibu Saskia:
Siswa pada bengong ada apa nie? Mereka berpikir buat apa belajar karena
sudah ada bapak/ibu guru yang sibuk dengan kunci jawaban. Santai
akh....?!!!
Saya (Blas MK): Para siswa ini memang selalu begitu bu, mereka selalu membuat guru-gurunya kepala sakit...!!
Ibu Saskia:
Hehee...Siswa-siswi sekarang begitu. Beda dengan kita dahulu, takut
kalau tidak lulus bukan para siswa yang sakit kepala tapi guru-gurunya
yang sakit kepala...
Saya (Blas MK): Perlu perjuangan berat untuk menjadikan para siswa ini menjadi pintar... (percakapan di FB terhenti)
Ibu guru Saskia adalah seorang guru di
Banda Aceh memberikan komentarnya setelah melihat kondisi riil para
siswa saya yang sedang mengkiti UAS tahun 2011/2012.
Dia menjelaskan kebingungan para
siswa ini terjadi karena mereka sedang mengharapkan para gurunya
menyiapkan kunci jawaban untuk soal-soal yang diujikan. Bengong dan
mengharapkan banyak dari para gurunya. Saya tidak bisa membayangkan
karya para guru kita hingga UAS ini bisa diselenggarakan dengan baik.
Dari mulai menyiapkan kisi-kisi, mengetik naskah soal di komputer,
menyeleksi, mengedit soal hingga mengedarkan soal kepada para siswa di
kelas. Setelah mengedar soal, para guru harus mengerjakan soal-soal itu
dan maaf memberikan kunci jawaban kepada para siswanya.
Bila para siswa itu memperoleh nilai
tinggi maka para guru akan senang, namun bila para siswa itu memperoleh
nilai rendah dan tidak lulus maka para guru menjadi kepala sakit.
Bahkan para siswa menjadi beringas hingga melakukan perusakan terhadap
fasilitas sekolah, kegiatan brutal dan bahkan pemukulan dan ancaman
terhadap para guru yang telah bekerja keras untuk menyukseskan UAS ini.
Sebuah kenyataan yang sangat
disayangkan bahwa para siswa zaman sekarang ini sepertinya telah
tergantung bukan hanya 100% kepada gurunya namun telah tergantung
seutuhnya dan sepenuhnya kepada para gurunya sendiri, seperti yang
dikatakan oleh ibu Saskia dalam komentnya. "Beda dengan keadaan kita
zaman dahulu, bila UAS tiba kita selalu kepala pusing, takut
jangan-jangan tidak lulus UAS, maka kita selalu berjuang untuk belajar
keras, " demikian ibu Saskia.
Para siswa bermasalah seperti
terlibat perkelahian antar siswa, terlibat minum minuman keras, sering
absent dan keluar lingkungan sekolah harus memperoleh perhatian secara
serius dari guru pembina seperti wali kelasnya. UU guru dan dosen No.14
tahun 2005 telah menggariskan agar para guru kita berkewajiban untuk
memberi perhatian kepada para siswa secara adil dan merata, tanpa
membeda-bedakan atau melakukan diskriminasi atas dasar pertimbangan
jenis kelamin, agama, SARA, kondisi fisik tertentu, latar belakang
keluarga, status sosial ekonomi dari para peserta didik. Perhatian yang
merata dan seimbang merupakan kewajiban guru seturut amanat UU guru dan
dosen No.14 tahun 2005, demi meningkatkan mutu dan kualitas para siswa
kita.
Proses pendidikan di sekolah
kelihatannya berusaha membentuk dan menciptakan pribadi yang semula
begitu nakal menjadi pribadi yang beradab dan santun. Pendidikan kita
adalah pendidikan yang berusaha menjadikan atau menciptakan manusia,
dengan berusaha menjadi penerang dan pembimbing para siswa kita sendiri.
Kita berusaha menciptakan sebuah format seperti yang dituntut dalam
idealisme pendidikan kita sendiri yakni pribadi yang Pancasila's dengan
penekanan pada keberadaban manusia-manusia muda, melalui penyerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya ini sebuah perjuangan yang
berat, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Dalam zaman globalisasi ini,
pembentukkan mental dan karakter manusia harus diarahkan agar manusia
dapat dan mampu bersaing dalam era globalisasi informasi dan teknologi.
Dalam masa krisis multidimensi yang melanda manusia karena globalisasi
ini, pendidikan harus mampu menciptakan manusia Indonesia yang
benar-benar berakhlak dan berilmu agar dapat keluar dari krisis akibat
globalisasi yang semakin merajai dunia ini. Pendidikan kita harus mampu
menciptakan sebuah generasi bangsa Indonesia yang bersatu, demokratis
dan teknologis. Agenda perubahan paradigma kita dalam era baru ini
adalah dari agenda yang sentralistik (terpusat, terarah, terkendali)
kepada pendelegasian wewenang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi
nasional kita.
Visi-visi tentang pendidikan yang merupakan idealisme yang sedang kita kejar adalah:
a. Dari metode teaching ke metode learning
yakni dari sistem pengajaran kepada sistem pembelajaran. Bila sistem
pengajaran yang kita tekankan maka akan menghasilkan para siswa kita
seperti terlihat dalam foro yang saya posting di FB-ku, yakni para
siswa yang sedang melongo menatap bahan ujian dalam kelas. Paradigma
pengajaran cenderung melihat siswa sebagai pribadi yang berfungsi
pendengar yang pasif. Sementara dalam paradigma learning atau belajar,
para siswa menjadi pendengar aktif dan menjadi masyarakat pembelajar
yang aktif dan kreatif. Maka mereka akan menjadi para siswa yang cerdas.
Sebab aktivitas belajar memungkinkan ada dinamika, ada usaha, ada
dorongan ada kemampuan siswa-siswi untuk menemukan dan menciptakan serta
mengerjakan hal-hal yang bernilai bagi kehidupannya.
b. Dari metode learning ke metode berbuat (dari belajar menjadi mengerjakan). Belajar tanpa berbuat atau merealisasikan ide dan konsep menjadi
mubasir. Di dalam belajar kita melakukan berbagai telaah ilmiah yang
berkonsep dan setelah melakukan telaah ilmiah maka kita berjuang untuk
merealisasikan konsep yang telah kita buat itu demi kebaikan dan
kesejahteraan bersama kita. Beberapa siswa atau bahkan mahasiswa kita di
Indonesia telah menjadi mahasiswa atau siswa yang kreatif dengan ikut
serta menciptakan beragam benda atau barang yang berguna bagi kehidupan
kita sebagai manusia. Beberapa hal yang kita buat dalam tataran praktis
misalnya tentang prinsip keadilan, demokrasi, kejujuran, kesucian,
kebersamaan, toleransi, merupakan nilai-nilai hasil pembelajaran kita,
perlu direalisasikan dalam kehidupan kita setiap hari. Dengan melakukan
apa yang telah kita pelajari, maka kita menjadi manusia yang sungguh
berkomitment tinggi terhadap apa yang kita pelajari sendiri.
c. Metode leaning to life together
yakni belajar untuk dapat hidup bersama dan berpartisipasi dalam hidup
bersama itu. Maka dalam proses ini nilai-nilai dalam hidup bersama
sebagai pegangan yang utuh harus ditegakkan. Nilai-nilai itu seperti:
nilai Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), nilai perdamaian, nilai toleransi,
nilai penghormatan, nilai kejujuran, nilai hati nurani, nilai kebaikan
dan nilai keberanian harus selalu diperhatian. Nilai-nilai dalam hidup
bersama harus selalu diperhatikan dan ditaati. Nilai-nilai itu membuat
kita menjadi berbahagia. Selain-nilai-nilai itu, kita harus
memperhatikan norma-norma dalam hidup bersama. Norma-norma itu adalah
norma kesopanan, norma tata susila, norma agama, norma moral, norma
hukum dan norma teknologis.
Itu adalah nilai-nilai dan norma-norma
yang memungkinkan kita dapat hidup bersama (life togetherness). Ada
istilah partisipasi dalam kehidupan bersama. Partisipasi berarti
kesediaan untuk mau berbagi kepada orang lain, teristimewa membagi
sesuatu yang kita miliki kepada orang yang menderita dan kekurangan.
Partisipasi juga berarti ikut serta terlibat dalam kegiatan sosial,
keagamaan, kedukaan, syukur dan kegembiraan bersama dalam masyarakat.
d. Learning to become theirself
yakni belajar untuk menjadi diri sendiri. Belajar untuk menjadi diri
sendiri berarti menjadi subjek untuk diri sendiri, tidak ingin dan
selalu membebek atau mengikuti petunjuk orang lain. Menjadi diri sendiri
berarti memiliki inisiatif sendiri untuk melaksanakan hal-hal yang
bernilai dan hal-hal yang berguna bagi diri sendiri. Setelah kita
menjadi diri sendiri maka kita wajib membagikan sedikit dari apa yang
kita hasilkan bagi orang lain terlebih bagi orang yang menderita dan
dilupakan atau disepelehkan oleh orang lain.
e. Pengembangan potensi emosi, intelektual dan spiritual manusia. Untuk
hal ini perlu sarana-sarana untuk pengembangan latihan emosi,
intelektual dan spiritual; para siswa sendiri. Misalnya Buletin sekolah
sebagai sarana melatih kemampuan menulis para siswa. latihan bela diri
untuk sarana melatih emosi dan kegiatan keagamaan seperti doa bersama,
pengkotbahan, ibadat bersama sebagai sarana pengembangan spritual
manusia.
4. Upaya Merealisasikan Karier Guru, Tuntutan Profesi dan Kesejahteraan Guru
Saat ini,
pelaksanaan sertifikasi guru yang kian sukses dipandang sebagai langkah
baru dalam pelaksanaan ideal guru di era baru ini. Pada tahun 2012,
pemerintah telah melakukan uji kompetensi kepada para calon sertifikasi
guru. Setelah uji kompetensi barulah para guru mengikuti penilaian
portoifolio guru. Sebelumnya pemerintah hanya memperlakukan uji
portofolio guru. Bagi yang langsung lulus akan mengantongi sertifikat
pendidik, sedangkan yang belum lulus akan mengikuti PPLG. Ujian
kopmpetensi guru bukan hanya berlaku bagi para guru sertifikasi saja,
namun pemerintah akan melakukan uji kompetensi bagi para guru honorer
untuki menjadi PNS. Jangkauan karier guru bukan hanya pada tingkat
menjadi guru profesional saja. Kini pemerintah bahkan membuka
kemungkinan karier menjadi guru utama, sebuah karier guru setingkat
Profesor yang memungkinkan guru bisa memiliki penghasilan 3 kali gaji
pokoknya seperti seorang profesor di Perguruan Tinggi (PT).
Dalam tahun anggaran 2009 yang
lalu, pemerintah RI telah memenuhi amanat UUD 1945 telah mengalokasikan
Anggaran Pendidikan sebesar 20% dari total jumlah anggaran dalam APBN.
Dengan memenuhi amant UUD 1945 ini, maka pemerintah telah memenuhi
ketentutan dalam mengalokasikan anggaran bagi pendidikan, khususnya bagi
kesejahteraan, profesionalisme guru, kompetensi guru, dan kebutuhan
pendidikan yang cukup besar bagi element bangsa dan tanah air Indonesia.
5. Penutup
Sebuah refleksi kritis tentang guru
sebagai pembangun insan cendikia memungkin kita untuk melihat jangkauan
kerja dan pemahaman yang utuh dari seorang guru dalam penciptaan
manusia Indonesia yang cerdik-Cendikia. Manusia yang dikatakan cendikia
adalah manusia yang selalu dapat belajar seumur hidup, mampu
merealisasikan apa yang dipelajarinya dengan tindakan atau perbuatan
nyata, mampu hidup bersama, mampu menjadi dirinya sendiri dan mampu
mengembangkan potensinya sendiri khususnya potensi emosi, spiritual dan
intelektual sebagai manusia yang bermoral dan bernorma dalam era
globalisasi yang selalu menekankan unsur teknologis.
Menciptakan manusia Indonesia yang
Cendikia bukanlah sebuah perjuangan sekejab saja. Namun sebuah
perjuangan yang panjang, perlu sikap mental dan moral yang tinggi serta
kemampuan mendayagunakan segenap kemampuan dan keberadaban manusia yang
menjunjung tinggi norma-norma dan mampu memanfaatkan ilmu dan teknologi
untuk kehidupan yang lebih baik dan berhasil.
KEPUSTAKAAN:
1. Barker Joel Arthur, Paradigma Upaya Menemukan Masa Depan (Batam: Inter Ajsar, 1999)
2. Indar Djumberansyah, Filsafat Pendidikan, (Surabaya: Karya Abditama, 1994)
3. Tilaar, HAR, Paradigma Baru Pendidikan Nasional ( Rieneka Cipta, 2000)
4. Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam www.tuanguru.net
Salam untuk pak Guru yang memposting artikel saya ini. Saya berterima kasih bahwa artikel ini bisa diposting secara utuh sesuai dengan aslinya. Semoga ide-ide dan gagasan dalam artikel ini berguna bagi perkembangan pendidikan kita di tanah air. Semoga kita selalu bersatu membangun RI tercinta ini. Salam sejahtera untukmu
BalasHapusBlasius Mengkaka, S.Fil
SMA Kristen Atambua
Jln. HBS da Costa, kel. Berdao, Atambua
Telp 0389 22556