Senin, 19 Maret 2012

Insan Cendikia

Menjadi Pembangun Insan Cendikia (Sebuah Refleksi Kritis Terhadap Guru di Era Baru)


 
Penulis: Blasius Mengkaka, S.Fil
Posted: Jumat, 16 Maret 2012

 1. Pendahuluan

     Era baru guru telah bergulir sejak keluarnya UU No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Melalui perdebatan sengit dan menghabiskan banyak waktu akhirnya DPR RI mengesahkan UU tentang guru dan dosen yang di dalamnya berisi tentang arah baru dalam karier guru dan dosen.  Pelaksanaan UU no.14 tahun 2005 itu pada awalnya penuh dengan beragam polemik dan perseteruan yang alot. Hal ini diakibatkan oleh wacana yang masih hangat antara warisan-warisan paradigma tentang guru pada masa lalu yang penuh simbol, lambang dan kekurangan terhadap keberadaan seorang guru di Indonesia.
     Model pendidikan RI sebelum keluarnya UU guru dan dosen No.14 tahun 2005 digambarkan sebagai model pendidikan warisan Orde Lama dan Orde Baru yang sangat sentralistik dan penuh simbol. Para guru tidak dilihat sebagai sebuah jabatan dan profesi yang penuh tantangan dan perjuangan. Ada kekuatiran bahwa bila keadaan para guru kita di Indonesia masih berada dalam situasi yang lama maka akan berimbas pada ketidakberdayaan dan bahkan kekalahan yang akan terus berlanjut pada masyarakat Indonesia dalam menghadapi arus globalisasi yang semakin deras melanda masyarakat dan bangsa kita.
     Dengan terbitnya UU tentang guru dan dosen yang baru ini (UU No.14 tahun 2005), para guru dapat menjadi insan pelopor utama bahkan menjadi pembimbing terdepan masyarakat dalam menghadapi krisis yang menimpah bangsa Indonesia akibat kemajuan globalisasi yang terus melanda masyarakat Indonesia. Kemajuan globalisasi ekonomi, teknologi dan informasi, agama dan seterusnya dikuatirkan akan menimbulkan dampak yang significant dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Maka pemerintah perlu memikirkan langkah strategis yang relevan agar masyarakat Indonesia bisa kuat dan sanggup menghadapi krisis multidimensi ini.
    Tulisan ini menghantarkan pembaca untuk memahami peranan guru sebagai pembangun insan Cendikia yang keberadaannya diyakini sebagai kunci dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam era globalisasi ini.

2. Tantangan Pelaksanaan UU No.14 Tahun 2005
     UU No.14 Tahun 2005 yang baru terbit ketika itu telah disambut oleh seluruh kalangan di Indonesia. Berbagai diskusi dan tanggapan mengalir deras. Masing-masing pihak menyodorkan beragam ide-ide dan gagasan yang menarik tentang guru di era baru nanti, khususnya dalam era globalisasi ini. Kolom-kolom mass media penuh opini, ide dan gagasan dari para pakar pendidikan baik dalam maupun luar negeri. Salah satu hal yang didiskusikan adalah tentang pelaksanaan sertifikasi guru dan dosen yang keberadaannya merupakan amanat UU guru dan dosen No.14 tahun 2005 demi mencapai profesionalisme guru dan dosen.
     Character dan pola pikir masyarakat Indonesia telah lama beranggapan bahwa guru adalah sebuah pekerjaan bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Paradigma pahlawan tanpa tanda jasa telah lama merasuk dan telah diinternalisasi dan disosialisasikan masyarakat sejak lama, yakni sejak masa Sekolah Dasar. Dalam nyanyian hymne guru yang selalu dinyanyikan pada setiap kali upacara bendera pada hari senin setiap minggu di sekolah-sekolah dari TK hingga SMA di Indonesia, para siswa selalu menyanyikan lagu hymne guru sebagai berikut: 
Engkaulah patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
Lagu hymne guru yang dinyanyikan ini telah membentuk karakter dan presepsi masyarakat tentang keberadaan guru-guru kita di Indonesia ini. Presepsi bahwa guru adalah seorang pahlawan tanpa tanda jasa maksudnya guru adalah seorang pahlawan yang diakui namun jasa-jasanya kurang dihargai secara bagus oleh negara. Seringkali jasa-jasanya hanya berupa simbol-simbol saja. Simbol-simbol itu berupa satya lencana dan tanda-tanda jasa pengabdian. Namun realisasi simbol-simbol itu, berupa penghargaan berwujud uang atau materi tidak ada. Akibatnya karena kesulitan ekonomi dan tidak adanya penghargaan berupa uang yang diberikan negara sebagai realisasi dari simbol itu, mengakibatkan para guru menjadi merana dalam kesulitan yang besar yakni kesulitan ekonomi sejak lama.
     UU guru dan dosen No.14 tahun 2005 dirasa telah mendudukan penghargaan yang nyata terhadap seorang guru. Sertifikasi guru dan dosen telah berhasil dilaksanakan pada berbagai daerah di Indonesia. Para guru sendiri melalui  Organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dalam lagu hymne guru RI tersebut. Lagu hymne guru itu sendiri merupakan sebuah lagu hymne bagi guru Republik Indonesia yang diciptakan oleh komponis Sartono.
    Maka para petinggi PB PGRI segera melakukan pendekatan kepada komponis itu dan melalui surat Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) No. 447/Um/PB/XIX/2007 pada tanggal 27 November 2007, secara resmi ditetapkan pergantian syair dari lagu hymne guru menjadi:
Engkaulah patriot pahlawan bangsa
Pembangun insan Cendikia
Dengan adanya ketetapan surat PB PGRI ini maka secara resmi terjadi perubahan paradigma guru dari seorang pahlawan tanpa tanda jasa menjadi seorang pembangun insan Cendikia. Perubahan pemahaman ini tentu saja membutuhkan sosialisasi yang luar biasa. Bukan saja bagi masyarakat kita saat ini, para siswa maupun masyarakat kita  dari generasi siswa masa lampau.
     Sosialisasi diharapkan mampu mengubah citra dan pemahaman tentang guru sebagai pembangun insan cendikia. Ketetapan PB PGRI ini diharapkan membawa implikasi yang luas bagi pemahaman yang baru tentang guru di era globalisasi yang berperanan sebagai pembangun insan cendikia bagi generasi bangsa dan generasi manusia di dunia pada abad sekarang ini. Ketetapan baru PB PGRI diumumkan kepada seluruh masyarakat dan diulas dalam berbagai media termasuk dalam Harian Umum KOMPAS.
     Pemahaman yang baru dari masyarakat tentang guru secara resmi terus bergulir seriring dengan kemajuan dan keberhasilan para guru dalam program sertifikasi sebagai bagian dari peningkatan karier dan kompetensi para guru menuju profesionalisme. Dalam slogan ini, pekerjaan guru bukan lagi dilihat sebagai sebuah pekerjaan bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Namun guru telah menjadi sebuah profesi yang menuntut kompetensi guru dan peningkatan penghargaan yang luar biasa. Penghargaan terhadap guru bukan lagi berupa simbol dan lambang, namun telah menjadi nyata, riil dan ada yakni berupa uang yang besarnya bukan kecil namun sebesar 1 kali gaji pokok dari guru yang bersangkutan.
     Surat PB PGRI tentang perubahan hymne ini diharapkan mampu melincinkan jalan bagi pelaksanaan sertifikasi guru terutama bagi peningkatan penghargaan bagi seorang guru bukan hanya berupa dana-dana yang diterimanya namun berupa penghargaan yang lebih riil terhadap kinerja guru tersebut. Sosialisasi tentang perubahan hymne ini tidak selalu mudah sebab beberapa tahun setelah itu, banyak guru sendiri sering menyebut dan memahaminya secara salah. Sosialisasi yang kurang mengakibatkan presepsi tentang guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa itu masih ada, bahkan oleh para guru sendiri. Perlu usaha yang lebih keras agar  ke depan sosialisasi guru sebagai pahlawan insan cendikia ini bisa menjadi berhasil. Sehingga para guru mampu memahami slogan ini demi perkembangan dan kehidupan para guru yang lebih baik.
     Selain itu pelaksanaan UU guru dan dosen No.14 tahun 2005 tersandung pada kenyataan pembagian anggaran dalam APBN kita. Amanat UUD 1945 telah memberikan sinyal bahwa anggaran untuk pendidikan ditargetkan dana sebesar 20 persen dari total anggaran APBN kita. Namun hingga saat itu, belum ada sinyal dari DPR RI untuk meralisasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Hal ini dilihat sebagai sebuah batu sandungan bagi pelaksanaan UU guru dan dosen No.14 tahun 2005. Maka perlu sebuah ketetapan yang lebih riil dari DPR RI untuk merealisasikan sinyal UUD 1945 ini. 
     Perhitungannya bahwa bila semua guru di Indonesia disertifikasi, maka berapa anggaran yang diperlukan oleh negara untuk membayar semua tunjangan para guru tersebut? Hingga sejauh itu, belum ada dana yang relevan yang disediakan oleh pemerintah kita. Maka tuntutan untuk membayar tunjangan berupa uang bagi tunjangan profesi para guru menjadi sangat berkendala.
    Kini halangan itu berhasil disingkirkan oleh pemerintah RI sebab dalam tahun anggaran 2009 yang lalu pemerintah RI telah memenuhi target anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN.

3. Merealisasikan Idealisme Pendidikan: Sebuah Perjuangan Yang Panjang
     Rabu, 14 Maret 2012, saya memposting gambar tentang situasi para siswa SMA Kristen Atambua kelas XII yang sedang mengikuti Ujian Akhir Sekolah (UAS) tahun pelajaran 2011/2012. Para siswa itu terlihat bingung dan gelisah sebagaimana terekam dalam gambar yang saya posting di email Facebook saya. Tidak berapa lama kemudian seorang teman guru yang berasal dari Banda Aceh memberikan komentar seperti begini:
Ibu Saskia: Siswa pada bengong ada apa nie? Mereka berpikir buat apa belajar karena sudah ada bapak/ibu guru yang sibuk dengan kunci jawaban. Santai akh....?!!!
Saya (Blas MK): Para siswa ini memang selalu begitu bu, mereka selalu membuat guru-gurunya kepala sakit...!!
Ibu Saskia: Hehee...Siswa-siswi sekarang begitu. Beda dengan kita dahulu, takut kalau tidak lulus bukan para siswa yang sakit kepala tapi guru-gurunya yang sakit kepala...
Saya (Blas MK): Perlu perjuangan berat untuk menjadikan para siswa ini menjadi pintar...  (percakapan di FB terhenti)
Ibu guru Saskia adalah seorang guru di Banda Aceh memberikan komentarnya setelah melihat kondisi riil para siswa saya yang sedang mengkiti UAS tahun 2011/2012. 
     Dia menjelaskan kebingungan para siswa ini terjadi karena mereka sedang mengharapkan para gurunya menyiapkan kunci jawaban untuk soal-soal yang diujikan. Bengong dan mengharapkan banyak dari para gurunya. Saya tidak bisa membayangkan karya para guru kita hingga UAS ini bisa diselenggarakan dengan baik. Dari mulai menyiapkan kisi-kisi, mengetik naskah soal di komputer, menyeleksi, mengedit soal hingga mengedarkan soal kepada para siswa di kelas. Setelah mengedar soal, para guru harus mengerjakan soal-soal itu dan maaf memberikan kunci jawaban kepada para siswanya.
    Bila para siswa itu memperoleh nilai tinggi maka para guru akan senang, namun bila para siswa itu memperoleh nilai rendah dan tidak lulus maka para guru menjadi kepala sakit. Bahkan para siswa menjadi beringas hingga melakukan perusakan terhadap fasilitas sekolah, kegiatan brutal dan bahkan pemukulan dan ancaman terhadap para guru yang telah bekerja keras untuk menyukseskan UAS ini.
     Sebuah kenyataan yang sangat disayangkan bahwa para siswa zaman sekarang ini sepertinya telah tergantung bukan hanya 100% kepada gurunya namun telah tergantung seutuhnya dan sepenuhnya kepada para gurunya sendiri, seperti yang dikatakan oleh ibu Saskia dalam komentnya. "Beda dengan keadaan kita zaman dahulu, bila UAS tiba kita selalu kepala pusing, takut jangan-jangan tidak lulus UAS, maka kita selalu berjuang untuk belajar keras, " demikian ibu Saskia.
     Para siswa bermasalah seperti terlibat perkelahian antar siswa, terlibat minum minuman keras, sering absent dan keluar lingkungan sekolah harus memperoleh perhatian secara serius dari guru pembina seperti wali kelasnya. UU guru dan dosen No.14 tahun 2005 telah menggariskan agar para guru kita berkewajiban untuk memberi perhatian kepada para siswa secara adil dan merata, tanpa membeda-bedakan atau melakukan diskriminasi atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, SARA, kondisi fisik tertentu, latar belakang keluarga, status sosial ekonomi dari para peserta didik. Perhatian yang merata dan seimbang merupakan kewajiban guru seturut amanat UU guru dan dosen No.14 tahun 2005, demi meningkatkan mutu dan kualitas para siswa kita.
     Proses pendidikan di sekolah kelihatannya berusaha membentuk dan menciptakan pribadi yang semula begitu nakal menjadi pribadi yang beradab dan santun. Pendidikan kita adalah pendidikan yang berusaha menjadikan atau menciptakan manusia, dengan berusaha menjadi penerang dan pembimbing para siswa kita sendiri. Kita berusaha menciptakan sebuah format seperti yang dituntut dalam idealisme pendidikan kita sendiri yakni pribadi yang Pancasila's dengan penekanan pada keberadaban manusia-manusia muda, melalui penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya ini sebuah perjuangan yang berat, tidak semudah membalikkan telapak  tangan.
     Dalam zaman globalisasi ini, pembentukkan mental dan karakter manusia harus diarahkan agar manusia dapat dan mampu bersaing dalam era globalisasi informasi dan teknologi. Dalam masa krisis multidimensi yang melanda manusia karena globalisasi ini, pendidikan harus mampu menciptakan manusia Indonesia yang benar-benar berakhlak dan berilmu agar dapat keluar dari krisis akibat globalisasi yang semakin merajai dunia ini. Pendidikan kita harus mampu menciptakan sebuah generasi bangsa Indonesia yang bersatu, demokratis dan teknologis. Agenda perubahan paradigma kita dalam era baru ini adalah dari agenda yang sentralistik (terpusat, terarah, terkendali) kepada pendelegasian wewenang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi nasional kita.
     Visi-visi tentang pendidikan yang merupakan idealisme yang sedang kita kejar adalah:
a. Dari metode teaching ke metode learning  yakni dari sistem pengajaran kepada sistem pembelajaran. Bila sistem pengajaran yang kita tekankan maka akan menghasilkan para siswa kita seperti terlihat dalam foro  yang saya posting di FB-ku, yakni para siswa yang sedang melongo menatap bahan ujian dalam kelas. Paradigma pengajaran cenderung melihat siswa sebagai pribadi yang berfungsi pendengar yang pasif. Sementara dalam paradigma learning atau belajar, para siswa menjadi pendengar aktif dan menjadi masyarakat pembelajar yang aktif dan kreatif. Maka mereka akan menjadi para siswa yang cerdas. Sebab aktivitas belajar memungkinkan ada dinamika, ada usaha, ada dorongan ada kemampuan siswa-siswi untuk menemukan dan menciptakan serta mengerjakan hal-hal yang bernilai bagi kehidupannya.
b. Dari metode learning ke metode berbuat (dari belajar menjadi mengerjakan). Belajar tanpa berbuat atau merealisasikan ide dan konsep menjadi mubasir. Di dalam belajar kita melakukan berbagai telaah ilmiah yang berkonsep dan setelah melakukan telaah ilmiah maka kita berjuang untuk merealisasikan konsep yang telah kita buat itu demi kebaikan dan kesejahteraan bersama kita. Beberapa siswa atau bahkan mahasiswa kita di Indonesia telah menjadi mahasiswa atau siswa yang kreatif dengan ikut serta menciptakan beragam benda atau barang yang berguna bagi kehidupan kita sebagai manusia. Beberapa hal yang kita buat dalam tataran praktis misalnya tentang prinsip keadilan, demokrasi, kejujuran, kesucian, kebersamaan, toleransi, merupakan nilai-nilai hasil pembelajaran kita, perlu direalisasikan dalam kehidupan kita setiap hari.  Dengan melakukan apa yang telah kita pelajari, maka kita menjadi manusia yang sungguh berkomitment tinggi terhadap apa yang kita pelajari sendiri.
c. Metode leaning to life together yakni belajar untuk dapat hidup bersama dan berpartisipasi dalam hidup bersama itu. Maka dalam proses ini nilai-nilai dalam hidup bersama sebagai pegangan yang utuh harus ditegakkan. Nilai-nilai itu seperti: nilai Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), nilai perdamaian, nilai toleransi, nilai penghormatan, nilai kejujuran, nilai hati nurani, nilai kebaikan dan nilai keberanian harus selalu diperhatian. Nilai-nilai dalam hidup bersama harus selalu diperhatikan dan ditaati. Nilai-nilai itu membuat kita menjadi berbahagia. Selain-nilai-nilai itu, kita harus memperhatikan norma-norma dalam hidup bersama. Norma-norma itu adalah norma kesopanan, norma tata susila, norma agama, norma moral, norma hukum dan norma teknologis.
Itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang memungkinkan kita dapat hidup bersama (life togetherness). Ada istilah partisipasi dalam kehidupan bersama. Partisipasi berarti kesediaan untuk mau berbagi kepada orang lain, teristimewa membagi sesuatu yang kita miliki kepada orang yang menderita dan kekurangan. Partisipasi juga berarti ikut serta terlibat dalam kegiatan sosial, keagamaan, kedukaan, syukur dan kegembiraan bersama dalam masyarakat.
d. Learning to become theirself  yakni belajar untuk menjadi diri sendiri. Belajar untuk menjadi diri sendiri berarti menjadi subjek untuk diri sendiri, tidak ingin dan selalu membebek atau mengikuti petunjuk orang lain. Menjadi diri sendiri berarti memiliki inisiatif sendiri untuk melaksanakan hal-hal yang bernilai dan hal-hal yang berguna bagi diri sendiri. Setelah kita menjadi diri sendiri maka kita wajib membagikan sedikit dari apa yang kita hasilkan bagi orang lain terlebih bagi orang yang menderita dan dilupakan atau disepelehkan oleh orang lain.
e. Pengembangan potensi emosi, intelektual dan spiritual manusia. Untuk hal ini perlu sarana-sarana untuk pengembangan latihan emosi, intelektual dan spiritual; para siswa sendiri. Misalnya Buletin sekolah sebagai sarana melatih kemampuan menulis para siswa. latihan bela diri untuk sarana melatih emosi dan kegiatan keagamaan seperti doa bersama, pengkotbahan, ibadat bersama sebagai sarana pengembangan spritual manusia.
 4. Upaya Merealisasikan Karier Guru, Tuntutan Profesi dan Kesejahteraan Guru
     Saat ini, pelaksanaan sertifikasi guru yang kian sukses dipandang sebagai langkah baru dalam pelaksanaan ideal guru di era baru ini. Pada tahun 2012, pemerintah telah melakukan uji kompetensi kepada para calon sertifikasi guru. Setelah uji kompetensi barulah para guru mengikuti penilaian portoifolio guru. Sebelumnya pemerintah hanya memperlakukan uji portofolio guru. Bagi yang langsung lulus akan mengantongi sertifikat pendidik, sedangkan yang belum lulus akan mengikuti PPLG. Ujian kopmpetensi guru bukan hanya berlaku bagi para guru sertifikasi saja, namun pemerintah akan melakukan uji kompetensi bagi para guru honorer untuki menjadi PNS. Jangkauan karier guru bukan hanya pada tingkat menjadi guru profesional saja. Kini pemerintah bahkan membuka kemungkinan karier menjadi guru utama, sebuah karier guru setingkat Profesor yang memungkinkan guru bisa memiliki penghasilan 3 kali gaji pokoknya seperti seorang profesor di Perguruan Tinggi (PT).
     Dalam tahun anggaran 2009 yang lalu, pemerintah RI telah memenuhi amanat UUD 1945 telah mengalokasikan Anggaran Pendidikan sebesar 20% dari total jumlah anggaran dalam APBN. Dengan memenuhi amant UUD 1945 ini, maka pemerintah telah memenuhi ketentutan dalam mengalokasikan anggaran bagi pendidikan, khususnya bagi kesejahteraan, profesionalisme guru, kompetensi guru, dan kebutuhan pendidikan yang cukup besar bagi element bangsa dan tanah air Indonesia.

5. Penutup
     Sebuah refleksi kritis tentang guru sebagai pembangun insan cendikia memungkin kita untuk melihat jangkauan kerja dan pemahaman yang utuh dari seorang guru dalam penciptaan manusia Indonesia yang cerdik-Cendikia. Manusia yang dikatakan cendikia adalah manusia yang selalu dapat belajar seumur hidup, mampu merealisasikan apa yang dipelajarinya dengan tindakan atau perbuatan nyata, mampu hidup bersama, mampu menjadi dirinya sendiri dan mampu mengembangkan potensinya sendiri khususnya potensi emosi, spiritual dan intelektual sebagai manusia yang bermoral dan bernorma dalam era globalisasi yang selalu menekankan unsur teknologis. 
     Menciptakan manusia Indonesia yang Cendikia bukanlah sebuah perjuangan sekejab saja. Namun sebuah perjuangan yang panjang, perlu sikap mental dan moral yang tinggi serta kemampuan mendayagunakan segenap kemampuan dan keberadaban manusia yang menjunjung tinggi norma-norma dan mampu memanfaatkan ilmu dan teknologi untuk kehidupan yang lebih baik dan berhasil.


KEPUSTAKAAN:
1. Barker Joel Arthur, Paradigma Upaya Menemukan Masa Depan (Batam: Inter Ajsar, 1999)
2. Indar Djumberansyah, Filsafat Pendidikan, (Surabaya: Karya Abditama, 1994)
3. Tilaar, HAR, Paradigma Baru Pendidikan Nasional ( Rieneka Cipta, 2000)
4. Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam www.tuanguru.net

1 komentar:

  1. Salam untuk pak Guru yang memposting artikel saya ini. Saya berterima kasih bahwa artikel ini bisa diposting secara utuh sesuai dengan aslinya. Semoga ide-ide dan gagasan dalam artikel ini berguna bagi perkembangan pendidikan kita di tanah air. Semoga kita selalu bersatu membangun RI tercinta ini. Salam sejahtera untukmu

    Blasius Mengkaka, S.Fil
    SMA Kristen Atambua
    Jln. HBS da Costa, kel. Berdao, Atambua
    Telp 0389 22556

    BalasHapus